Kamis, 17 Mei 2012

Naya


Angin berdesir menyisir daun-daun pohon kelapa. Ombak bergulung-gulung di bawah langit hitam. Aku masih terisak memusuhi takdir. Tak kusangka jalan hidupku harus berbelok melewati tikungan tajam. Seakan mimpi. Alfa yang sedari tadi duduk di sampingku hanya terpaku terdiam. Merenung memandangi langit.

Saat ini pukul 3 pagi. Sudah 5 jam kami duduk di pinggir pantai. Alfa membawaku kesini dengan motornya ketika aku bersikeras untuk pulang ke rumah tadi. Setelah sampai di pantai, segera ia menceritakan hal-hal yang terjadi ketika aku pingsan. Tak disangka aku pingsan selama 2 hari.




Ia bilang bahwa Ayah dan Ibuku sudah dimakamkan di pemakaman umum dekat rumahku. Lalu aku yang masih belum sadarkan diri sengaja dititipkan di rumah Rama oleh kakakku, karena ia harus membereskan pekerjaan kantor Ayah dan Ibu yang terpaksa ditinggalkan.

Kakakku, Naya memang kakak yang kuat dan hebat. Ia hanya berbeda 5 tahun dariku. Saat usianya menginjak 15 tahun ia sudah pergi meninggalkan rumah. Ia ingin bisa membuktikan bahwa dirinya mampu hidup sendiri tanpa orang tua. Ia bersekolah di siang hari sedang malam harinya bekerja di sebuah Restaurant Fast Food. Aku ingat hari dimana ia pergi meninggalkan rumah.

“Gak mau, Pah! Naya mau sekolah di sini aja.”

“Tapi sengaja Papa menyekolahkan kamu disana biar kamu lebih gampang masuk ke kedokteran. Lagian disana kan tinggal di rumah Bibi. Kamu gak perlu khawatir!”

“Tapi Jerman tu jauh pah! Pokonya Naya gak mau pergi!”

“NAYA! Kamu berani melawan Papa ya!”

“Pah Naya mohon.. Dokter bukan cita-cita Naya. Naya pengen kaya Papa Mama, jadi wanita karir.”

“Pah, kita gak bisa paksa dia. Kalo dia gak mau.” Ibu mencoba menenangkan Ayahku. Tapi Ayahku bersikeras dan akhirnya secara tidak langsung mengusir Kakakku dari rumah.

“Oke kalau kamu mau sekolah di sini tapi dengan syarat. Kamu harus biayain sekolah kamu sendiri. Papa ga mau biayain anak yang gak mau nurut sama Papa.”
Kak Naya langsung mengeluarkan air mata, tak percaya Ayahnya akan berkata begitu.

“Oke! Naya bisa buktiin ke Papa kalo Naya bisa. Kalo perlu Naya gak akan tinggal di sini lagi yang bisanya cuma nyusahin Papa. Maaf udah jadi anak yang gak bisa Papah banggain!”

Kakakku langsung masuk ke kamarnya, mengemasi semua barangnya. Ibuku sempat akan menghentikannya, namun ditahan oleh Ayahku. Sekilas Ayahku berbisik pada Ibu. “Biarkan, biarkan ia melakukan hal yang diinginkannya. Papa memang kecewa ia tak mau menjadi dokter. Tapi melihat keseriusannya, Papa ingin melihatnya berjuang dan membuktikan kata-katanya pada Papa. Papa ingin ia mandiri dan Papa yakin dia bisa.” Ayahku tersenyum pada Ibuku yang berurai air mata.

“Tapi anak kita kan baru 15 tahun. Gimana caranya dia hidup sendiri?!”

“Tenang Papa pasti mengawasinya.”

Akhirnya sejak itupun aku tak pernah bertemu dengan Kak Naya lagi hingga sekarang. Ibuku pernah beberapa kali mengiriminya uang untuk mencukupi kebutuhannya, namun ditolak mentah-mentah. Amplop berisi uang itu ia kirimkan kembali lewat pos ke alamat rumah kami. Aku yakin kakakku itu pasti menjalani hari-hari yang sulit. Namun tak ada yang dapat merubah tekadnya.

Kalau dipikir lagi mungkin saat ini kakakkulah yang paling bersedih. Dia akhirnya dapat bertemu orang tuanya kembali ketika mereka sudah tiada. Aku tak dapat membayangkan bagaimana perasaannya. Sesal juga sedih pastilah bercampur menjadi satu.

Tak terasa pagi menjelang. Matahari terbit di ujung laut sungguh indah. Air laut berkilauan. Aku berhenti menangis. Takjub akan keindahannya.

“Habis gelap pastilah terang, begitu juga hidup. Habis pedih pasti ada kebahagiaan yang menanti.” Alfa berkata sambil memandang matahari terbit, lalu menoleh ke arahku dan tersenyum. “Semangat ya Erie, kehidupanmu yang sesungguhnya baru saja dimulai.”

Aku menghapus air mata, mengangguk pelan ke arahnya. “Makasih Al.”






Yuu-chan


Read More... Naya