Rabu, 28 Maret 2012

Hitam


Aku tahu sejak semula memang ada yang aneh. Untuk apa kakakku yang sudah lama tak kutemui tiba-tiba menyusulku ke sekolah. Tak kusangka ternyata...

Aku terus berlari sekuat tenaga dengan badan basah kuyup. Baju sekolahku sungguh tak tertolong. Air mataku tak jua berhenti. Pikiranku terbang melayang-layang. Dalam hati terus berdo’a semoga semuanya baik-baik saja. Tidak, semuanya pasti baik-baik saja. Iya, pasti.

Rama, Alfa dan Kakakku mengikutiku dari belakang, mereka sama paniknya. Berlari menyusuri lorong-lorong bercat putih pucat. Aku sempat heran mengapa dinding-dinding ini di cat dengan warna seperti ini? Mereka seakan bersedih. Seakan tahu apa yang akan terjadi. Mengandaskan harapan orang.


Segera kudapati Paman dan Bibi (Ayah dan Ibu Rama) yang juga terlihat sangat cemas berdiam diri di depan sebuah pintu yang terbuat dari kaca.

“Kritis.” Kata Bibi singkat, menjelaskan keadaan orang tuaku saat ini. Bibirnya gemetar. “Masih di ICU.” Mengusap-usap lembut lenganku.

Aku yang tak percaya langsung terdiam. Air mataku menjelaskan kesedihanku. Aku terisak cukup keras. “Ma..ma, Pa..pa.. Hiks.....Hiks......Hiks.....” Lidahku tak mampu berkata-kata lagi.

Kakakku sama sedihnya denganku, namun dia berusaha mengontrol emosinya. Memelukku dan berkata, “Tenang semuanya pasti baik-baik aja, Kakak yakin.” Aku masih terisak.

Ayah dan Ibuku diketahui tertabrak oleh truk pengangkut barang yang supirnya terkantuk-kantuk. Mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah rapat di luar kota.

Dokter keluar dari dalam ruang ICU. Aku langsung menginterogasinya, “Dokter, Mama Papa saya gapapa kan? Iya kan dok? Dok? JAWAB DOK!!!” Aku mengguncang-guncangkan baju lengan dokter dengan kasar. Tak sabar, panik, dan juga takut. Kakakku menenangkanku.

Wajahnya, Aku benci wajahnya. Ekspresi apa itu?! Aku benci. Mengapa tak katakan saja orang tuaku baik-baik saja?! Akhirnya dokter itupun angkat bicara. Namun aku tak mengharapkan kata-kata yang keluar dari mulutnya. “Maaf kami sudah berusaha, namun takdir berkata lain.”

Aku berteriak sejadinya. Memukuli dokter dengan tenaga yang tersisa. Rama menghentikanku. Kakakku terduduk tak percaya. Menangis. Semua yang berada di sana sama sedihnya denganku. Paman memeluk Bibi yang menangis. Alfa terdiam bersandar di dinding yang dingin dan lembab itu.

Hitam.

Aku tak melihat apa-apa.

“Erie.. Pagi! Kamu mau sekolah gak sih?!” Suara Ibuku yang mengomel karena Aku sulit di bangunkan.

“Mmm, iyaa...” Aku bangun dengan malas. Mengusap-usap mata. Dan pergi ke kamar mandi.

Saat aku siap untuk sarapan, kulihat Ayah dan Ibuku sudah berdandan rapi sekali dengan jas kantornya. Ayah dan Ibuku adalah seorang pekerja kantoran yang kebetulan bekerja di kantor yang sama. Tidak, aku pikir itu bukan kebetulan, tapi merupakan takdir. Tahukah kalian  mereka terjerat cinlok (Cinta Lokasi) di kantor yang akhirnya memutuskan menikah setelah satu tahun berpacaran. Ya pekerjaan mereka yang mempertemukan mereka dengan takdir hidup mereka. Kurasa memang bukan suatu kebetulan. Karena orang memiliki caranya masing-masing dalam menemukan pasangannya.

“Mama, Papa mau kemana?”

“Ke luar kota, ada rapat tentang proyek baru.” Jawab Papa yang masih sibuk dengan korannya.

“Padahal kita udah pindah ke sini biar Papa Mama deket sama kantor, tapi masih juga harus ke luar kota. Masih juga harus ditinggal.” Omelku.

“Sayang, ini rapat penting. Gak bisa ditinggalin.” Ibuku berusaha membuatku mengerti.

“Tapi kan bisa rapat di sini juga. Kenapa harus ke luar kota segala.” Rupanya aku masih belum bisa mengerti.

“Gak bisa, soalnya kita harus sekalian survey lahan di sana. Sebentar ko, gak sampe nginep-nginep. Siang juga beres. Percaya deh.” Yakin Mama.

“Bener ya. Awas lo! Aku gak mau ditinggal malem-malem lagi kayak dulu jadi kuncen rumah. Bayangkan, gadis semanis ini ditelantarkan begitu saja di rumah seorang diri tanpa ada pengawasan sedikitpun! Bayangkan Mah, Bayangkan! Gimana kalo terjadi apa-apa dengan gadis manis ini? Gak kasian ni orang tua.”

“Yee kan Mama udah bilang, nginep di rumah Rama. Biasanya juga suka nginep, salah sendiri gak mau.” Belanya sambil mengambilkan nasi goreng untukku.

“Mamaku sayang, Erie sekarang udah umur 15 taun en Rama 17 taun. Malu dong. Apa kata dunia, nginep di rumah pemuda yang bukan siapa-siapanya. Sodara juga bukan.”

“Iya deh yang udah gede.. haha. Jadi pengen ketawa. Dulu aja nempel-nempel Rama terus kalo ditinggal. Ga taunya sekarang udah punya malu ni gadis Mama. Hmmm, Rama menurut kamu gimana sekarang? Makin cakep yah? Cie.. cie.. Mana tinggi, pinter, baik juga.. Masa depan cerah tuh.” Goda Mama.

“Hoh? Enak aja. Erie sama Rama? Aduh Erie tu udah kenal banget tektek bengeknya Rama. Ga mungkin Ma.. Ga mungkin Erie suka sama dia...”

“Ekhem, debat Ibu anaknya udah nih? Hm atau curhat Ibu anak?” Goda Ayahku. Tertawa.
Kami mulai menyantap sarapan kami yang nyatanya sudah mendingin.

“Erie jangan lupa sekarang bawa payung ya. Papa liat dari subuh langit mendung banget.” Tiba-tiba Ayahku nyeletuk ketika tengah sarapan.

“Iya kayaknya bakal ujan gede. Hati-hati ya sayang. Jaga diri baik-baik.” Mamaku tiba-tiba khawatir.

Itulah kata-kata terakhir orang tuaku yang mereka ucapkan di pagi hari sebelum aku berangkat sekolah kala itu. Kata-kata yang sarat akan makna.

Akhirnya aku membuka mataku. Dimana ini? Kamar Rama? Kulihat kesamping, Bibi tertidur di sofa samping tempat tidur. Kulihat pakaian seragamku tergantung rapi di dinding. Sepertinya sudah dicuci bersih, sedang aku sekarang mengenakan piyama Rama. Agak kebesaran. Oh, jam berapa ini? Aku melirik jam waker di samping. Pukul 10 malam.

Ah iya, aku kan pingsan. Tiba-tiba air mataku mengalir lagi. Namun langsung saja aku melompat dari tempat tidur, berlari membuka pintu kamar. Melewati ruang keluarga. Ada Rama tertidur di sana, tapi Aku terus saja berlari. Membuka pintu rumah. Aku terkejut. Ada Alfa di teras sedang memandangi langit malam. Ia lalu menoleh ke arahku dan nampak terkejut.

“Erie.. Kamu udah sadar? Syukurlah. Kamu mau kemana malem-malem gini?”

“Mau pulang.” Jawabku singkat.

“Eh? Besok aja, sekarang udah malem.”

“Gak bisa, harus sekarang! Papa Mama pasti khawatir, hape aku lowbatt, pasti mereka bingung nyariin aku ada di mana. Aku harus pulang. Masih ada ko kereta jam segini.” Aku berjalan melewati Alfa. Linglung.

“Erie!!!!!! Sadar! Mereka udah...” Alfa dengan nada marahnya, namun kata-katanya tertahan.

“Haha, apaan sih. Aku ga ngerti maksud kamu.” Aku terus berjalan melewatinya.

“ERIIE SADARLAH!!!!!” Alfa membentakku. Ia marah. Tapi ketika kulihat wajahnya... ada seraut kesedihan di sana.





Yuu-chan