Senin, 16 Januari 2012

Firasat

Aku berlari sekuat tenaga menyusuri lorong-lorong sempit. Kupikir ini hari sialku. Hari Kamis tanggal 23 Desember, ingatku. Huah, nafasku hampir habis. Aku terengah-engah. Jantungku memacu terlalu cepat. Tak bisa menyesuaikan dengan irama nafasku yang entah aku tak tahu apakah ini masih dapat disebut ‘irama’. Aku berbelok ke kanan dan kiri. Panik. Berharap tak tertangkap olehnya. Keringatku keluar butir demi butir. Bercucuran menuruni dahi dan pipiku. Aku yakin ketiakku lebih basah daripada wajahku.

Akhirnya aku menemukan drum besar untuk bersembunyi. Tidak. Bukan. Tak mungkin aku bersembunyi di dalamnya yang penuh dengan air. Aku hanya bersembunyi di belakangnya. Fuh, kucoba atur irama nafas dan detak jantungku. Tapi keringatku terus saja bercucuran. Kuintip dari balik drum itu. Sepi. Tak ada yang mengikutiku. Sepertinya dia kehilangan jejakku tadi. Untunglah. Hatiku berangsur tenang.

Anjing tetangga komplek sebelah itu memang punya kebiasaan aneh, selalu mengejar siapa-siapa yang berjalan melewati rumah majikannya. Padahal jelas-jelas itu adalah jalan umum, kenapa tak di ikat saja sih. The dog is really getting on my nerve! No, no.. tapi juga majikannya yang tak pernah sadar akan perilaku anjingnya. Jujur saja jalanan depan rumahnya kini sepi karena ulah anjingnya sendiri. Dia tak pernah memandang bulu untuk mengejar orang-orang yang tak dikenalnya. Tapi aku tak punya pilihan lain, ini satu-satunya jalan menuju stasiun kereta.

Ini sungguh di luar biasanya. Karena biasanya pada pukul 6 pagi tepat saat aku berangkat sekolah si anjing masih ngorok di kandangnya. Dan oh tidak, sekarang seragamku kotor karena aku bersandar pada drum hitam besar nan kotor itu.


Pukul 07.02 akhirnya aku sampai di sekolah. Aku beruntung Pak Rendi guru Fisika pada jam pelajaran pertama itu belum masuk ke kelas. Hazel dan Lorin terkejut mendapatiku lusuh dan tak berbentuk ini.


“Ley! Kenapa?!” Seru Hazel.


“Ngga, tadi dikejar-kejar penggemar, ngga biasanya dia bangun pagi-pagi. Aduh cape banget!” Jawabku datar. Seraya menghampiri tempat duduk.


“Ngga mungkin. Penggemar dari mana?!! Ngarang lo Ley! Hmm, tapi ganteng ga?” Lorin yang plin-plan setengah percaya.


“Ngga.” Jawabku singkat. Jelas saja, aku tak tahu standar kegantengan anjing itu sebagaimana.


“Oh jadi penggemar kamu perempuan ya Ley?! Haha sudah kuduga, aku meragukan kalo ada cowok yang suka sama kamu.” Hazel menyeringai. Haha, sial telingaku dibuat panas karenanya.


“Iya kali, aku gak tau si anjing itu cewek ato cowok.” Masih dengan ekspresi yang datar.


“Anjing? Tunggu Ley. Maksud kamu penggemar yang kamu maksud tadi itu anjing? Seekor anjing Ley?!!” Hazel berusaha menahan tawanya. Sedang Lorin masih berusaha mencerna kata-kataku. Oh, si kembar dua ini....


“IYA!” Jawabku dengan ekpresi kesal. Hazel langsung tertawa terbahak-bahak. Lorin yang akhirnya mengerti ikut tertawa. Oh, pagi yang menyebalkan. Aku menatap jendela tapi langsung saja teralihkan oleh pundak dan punggung Alfa yang bergerak-gerak sedikit. Oh tidak, bahkan Alfa menertawakanku. Dia sepertinya mati-matian menahan tawanya demi menghargai mood ku yang terlanjur hancur. Tapi biarlah, ini kali pertamanya ia tertawa di kelas. Aku tersenyum.


 Pak Rendi akhirnya masuk dengan tampang seram khasnya. Aku menatap jendela lagi. Hujan. Aku tahu hujan akan turun, karena sejak tadi subuh langit sudah mendung. Mentari tak kunjung datang meski waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Tapi, kenapa sepagi ini sudah hujan? Memang mungkin bulan ini masih musim penghujan. Tapi ini tidak seperti biasanya. Terlalu pagi. Kupandangi langit. Hitam muram. Hujan semakin deras.


Wahai langit, mungkinkah kau bersedih? Sebenarnya apa yang kau tangisi?


Tanpa kutahu ternyata langit menangisi takdirku.


Kamis, 23 Desember mungkin akan menjadi hari dan tanggal yang tak kan pernah mungkin aku lupakan .


“Valerie..” Seseorang memanggilku.


“Valerie..” Tapi aku masih dalam lamunanku. Menatap jendela.


“VALERIE MARYAM!!!” Aku tersentak. Gawat, suara ini.. Aku menoleh kesamping. Sudah kuduga Pak Rendi sudah melotot-melotot sedang wajahnya tepat berada di depan wajahku.


“Coba terangkan kembali apa yang barusan saya sampaikan!”


Gawat, bagaimana ini! Aku mengutuki diri karena tak memperhatikan materi yang disampaikan barusan. Pak Rendi masih saja memelototiku, namun yang bisa kulakukan saat ini adalah memberikan senyum termanisku, mencoba merayunya agar aku tak mendapatkan hukuman karena tak dapat menerangkan materi yang beliau pinta. Tapi tak berhasil, aku dikeluarkan dari kelas dan disuruh mengerjakan 50 soal Fisika. Buruk!


Kurasakan hari ini waktu berjalan begitu alot. Banyak hal menyebalkan yang terjadi. Jujur saja aku ingin segera mengakhiri hari ini. Wajahku sudah mengkerut sedari tadi. Hari semakin siang namun hujan belum terlihat ingin berhenti mengepung bumi. Firasat buruk itu masih juga menghantuiku.


 Akhirnya saat yang dinantikan tiba. Bel berbunyi keras sekali. Isyarat bahwa kelas berakhir. Aku bergegas keluar kelas, menuju gerbang depan sekolah. Aku ingin segera pulang. Membenamkan wajahku ke bantal, tertidur lelap dan bangun keesokan harinya. Sungguh aku ingin mengakhiri hari ini.


Tapi langkahku tertahan, aku baru sadar hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Payungku tak dapat kugunakan. Tak mungkin. Terlalu deras hingga yang terlihat didepan hampir semua terlihat putih. Kuraih handphoneku dari dalam tas. Namun percuma, lowbatt. Aku menghela nafas. Segera aku ingat, Ayah dan Ibu ada rapat di luar kota. Walaupun handphoneku menyala saat ini aku tetap tak bisa meminta mereka menjemputku. Akhirnya yang dapat kulakukan saat ini hanyalah menatap hujan.


Alfa datang dari arah sampingku. Berhenti tepat di sampingku dan menatap hujan.


“Hujan.” Gumamnya. “Kayanya belom mau berhenti deh.” Dia menoleh ke arahku.


“Eh iya, gede banget.” Aku menjawab sekenanya.


Lalu tiba-tiba suara getar handphone terdengar dari saku celana Alfa. “Eh sebentar ya.” Dia meminta ijin untuk menjawab telepon.


“Iya Ram?” Oh yang menelepon Rama ya. “Eh, iya aku lagi sama dia, kenapa?” Tiba-tiba Alfa melirikku. “Eh? Terus sekarang dimana katanya?!” Wajah Alfa tiba-tiba panik, dia terus menatapku. Ada apa sebenarnya? Firasat buruk itu muncul lagi. “Oke, oke, kita di gerbang depan sekolah. Cepet ya!” Akhirnya dia menutup teleponnya. Tatapannya tak lepas dari wajahku. “Erie..”


“Erie? Oh ya..” Aku tersenyum, baru kali ini dia memanggil namaku. Tapi jujur saja itu panggilan kesayangan keluargaku, aku kaget dia akan memanggilku seperti itu.


“Erie, sebenernya..” Wajahnya makin panik. “Sebenernya..”


Namun belum selesai Alfa menyelesaikan kalimatnya seseorang terlihat tengah berlari menembus hujan yang begitu deras dari arah luar sekolah. Baru kusadari siapa orang itu setelah dia sampai tepat dihadapanku. Basah kuyup. Aku terkejut. Lama tak berjumpa dengannya. “Kakak?”


Namun oh tidak, setelah sekian lama tak bertemu dengan kakakku, dia hanya memasang wajah dengan ekspresi yang sama seperti Alfa. Tak berkata-kata.


Dan tak lama kemudian Rama berlari dari arah belakangku dan berhenti disamping Alfa. Nafasnya tak beraturan. “Val...”


“Hey, hey ada apa sebenarnya ini?!” Aku panik.






Yuu-chan