Senin, 16 Januari 2012

Firasat

Aku berlari sekuat tenaga menyusuri lorong-lorong sempit. Kupikir ini hari sialku. Hari Kamis tanggal 23 Desember, ingatku. Huah, nafasku hampir habis. Aku terengah-engah. Jantungku memacu terlalu cepat. Tak bisa menyesuaikan dengan irama nafasku yang entah aku tak tahu apakah ini masih dapat disebut ‘irama’. Aku berbelok ke kanan dan kiri. Panik. Berharap tak tertangkap olehnya. Keringatku keluar butir demi butir. Bercucuran menuruni dahi dan pipiku. Aku yakin ketiakku lebih basah daripada wajahku.

Akhirnya aku menemukan drum besar untuk bersembunyi. Tidak. Bukan. Tak mungkin aku bersembunyi di dalamnya yang penuh dengan air. Aku hanya bersembunyi di belakangnya. Fuh, kucoba atur irama nafas dan detak jantungku. Tapi keringatku terus saja bercucuran. Kuintip dari balik drum itu. Sepi. Tak ada yang mengikutiku. Sepertinya dia kehilangan jejakku tadi. Untunglah. Hatiku berangsur tenang.

Anjing tetangga komplek sebelah itu memang punya kebiasaan aneh, selalu mengejar siapa-siapa yang berjalan melewati rumah majikannya. Padahal jelas-jelas itu adalah jalan umum, kenapa tak di ikat saja sih. The dog is really getting on my nerve! No, no.. tapi juga majikannya yang tak pernah sadar akan perilaku anjingnya. Jujur saja jalanan depan rumahnya kini sepi karena ulah anjingnya sendiri. Dia tak pernah memandang bulu untuk mengejar orang-orang yang tak dikenalnya. Tapi aku tak punya pilihan lain, ini satu-satunya jalan menuju stasiun kereta.

Ini sungguh di luar biasanya. Karena biasanya pada pukul 6 pagi tepat saat aku berangkat sekolah si anjing masih ngorok di kandangnya. Dan oh tidak, sekarang seragamku kotor karena aku bersandar pada drum hitam besar nan kotor itu.


Pukul 07.02 akhirnya aku sampai di sekolah. Aku beruntung Pak Rendi guru Fisika pada jam pelajaran pertama itu belum masuk ke kelas. Hazel dan Lorin terkejut mendapatiku lusuh dan tak berbentuk ini.


“Ley! Kenapa?!” Seru Hazel.


“Ngga, tadi dikejar-kejar penggemar, ngga biasanya dia bangun pagi-pagi. Aduh cape banget!” Jawabku datar. Seraya menghampiri tempat duduk.


“Ngga mungkin. Penggemar dari mana?!! Ngarang lo Ley! Hmm, tapi ganteng ga?” Lorin yang plin-plan setengah percaya.


“Ngga.” Jawabku singkat. Jelas saja, aku tak tahu standar kegantengan anjing itu sebagaimana.


“Oh jadi penggemar kamu perempuan ya Ley?! Haha sudah kuduga, aku meragukan kalo ada cowok yang suka sama kamu.” Hazel menyeringai. Haha, sial telingaku dibuat panas karenanya.


“Iya kali, aku gak tau si anjing itu cewek ato cowok.” Masih dengan ekspresi yang datar.


“Anjing? Tunggu Ley. Maksud kamu penggemar yang kamu maksud tadi itu anjing? Seekor anjing Ley?!!” Hazel berusaha menahan tawanya. Sedang Lorin masih berusaha mencerna kata-kataku. Oh, si kembar dua ini....


“IYA!” Jawabku dengan ekpresi kesal. Hazel langsung tertawa terbahak-bahak. Lorin yang akhirnya mengerti ikut tertawa. Oh, pagi yang menyebalkan. Aku menatap jendela tapi langsung saja teralihkan oleh pundak dan punggung Alfa yang bergerak-gerak sedikit. Oh tidak, bahkan Alfa menertawakanku. Dia sepertinya mati-matian menahan tawanya demi menghargai mood ku yang terlanjur hancur. Tapi biarlah, ini kali pertamanya ia tertawa di kelas. Aku tersenyum.


 Pak Rendi akhirnya masuk dengan tampang seram khasnya. Aku menatap jendela lagi. Hujan. Aku tahu hujan akan turun, karena sejak tadi subuh langit sudah mendung. Mentari tak kunjung datang meski waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Tapi, kenapa sepagi ini sudah hujan? Memang mungkin bulan ini masih musim penghujan. Tapi ini tidak seperti biasanya. Terlalu pagi. Kupandangi langit. Hitam muram. Hujan semakin deras.


Wahai langit, mungkinkah kau bersedih? Sebenarnya apa yang kau tangisi?


Tanpa kutahu ternyata langit menangisi takdirku.


Kamis, 23 Desember mungkin akan menjadi hari dan tanggal yang tak kan pernah mungkin aku lupakan .


“Valerie..” Seseorang memanggilku.


“Valerie..” Tapi aku masih dalam lamunanku. Menatap jendela.


“VALERIE MARYAM!!!” Aku tersentak. Gawat, suara ini.. Aku menoleh kesamping. Sudah kuduga Pak Rendi sudah melotot-melotot sedang wajahnya tepat berada di depan wajahku.


“Coba terangkan kembali apa yang barusan saya sampaikan!”


Gawat, bagaimana ini! Aku mengutuki diri karena tak memperhatikan materi yang disampaikan barusan. Pak Rendi masih saja memelototiku, namun yang bisa kulakukan saat ini adalah memberikan senyum termanisku, mencoba merayunya agar aku tak mendapatkan hukuman karena tak dapat menerangkan materi yang beliau pinta. Tapi tak berhasil, aku dikeluarkan dari kelas dan disuruh mengerjakan 50 soal Fisika. Buruk!


Kurasakan hari ini waktu berjalan begitu alot. Banyak hal menyebalkan yang terjadi. Jujur saja aku ingin segera mengakhiri hari ini. Wajahku sudah mengkerut sedari tadi. Hari semakin siang namun hujan belum terlihat ingin berhenti mengepung bumi. Firasat buruk itu masih juga menghantuiku.


 Akhirnya saat yang dinantikan tiba. Bel berbunyi keras sekali. Isyarat bahwa kelas berakhir. Aku bergegas keluar kelas, menuju gerbang depan sekolah. Aku ingin segera pulang. Membenamkan wajahku ke bantal, tertidur lelap dan bangun keesokan harinya. Sungguh aku ingin mengakhiri hari ini.


Tapi langkahku tertahan, aku baru sadar hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Payungku tak dapat kugunakan. Tak mungkin. Terlalu deras hingga yang terlihat didepan hampir semua terlihat putih. Kuraih handphoneku dari dalam tas. Namun percuma, lowbatt. Aku menghela nafas. Segera aku ingat, Ayah dan Ibu ada rapat di luar kota. Walaupun handphoneku menyala saat ini aku tetap tak bisa meminta mereka menjemputku. Akhirnya yang dapat kulakukan saat ini hanyalah menatap hujan.


Alfa datang dari arah sampingku. Berhenti tepat di sampingku dan menatap hujan.


“Hujan.” Gumamnya. “Kayanya belom mau berhenti deh.” Dia menoleh ke arahku.


“Eh iya, gede banget.” Aku menjawab sekenanya.


Lalu tiba-tiba suara getar handphone terdengar dari saku celana Alfa. “Eh sebentar ya.” Dia meminta ijin untuk menjawab telepon.


“Iya Ram?” Oh yang menelepon Rama ya. “Eh, iya aku lagi sama dia, kenapa?” Tiba-tiba Alfa melirikku. “Eh? Terus sekarang dimana katanya?!” Wajah Alfa tiba-tiba panik, dia terus menatapku. Ada apa sebenarnya? Firasat buruk itu muncul lagi. “Oke, oke, kita di gerbang depan sekolah. Cepet ya!” Akhirnya dia menutup teleponnya. Tatapannya tak lepas dari wajahku. “Erie..”


“Erie? Oh ya..” Aku tersenyum, baru kali ini dia memanggil namaku. Tapi jujur saja itu panggilan kesayangan keluargaku, aku kaget dia akan memanggilku seperti itu.


“Erie, sebenernya..” Wajahnya makin panik. “Sebenernya..”


Namun belum selesai Alfa menyelesaikan kalimatnya seseorang terlihat tengah berlari menembus hujan yang begitu deras dari arah luar sekolah. Baru kusadari siapa orang itu setelah dia sampai tepat dihadapanku. Basah kuyup. Aku terkejut. Lama tak berjumpa dengannya. “Kakak?”


Namun oh tidak, setelah sekian lama tak bertemu dengan kakakku, dia hanya memasang wajah dengan ekspresi yang sama seperti Alfa. Tak berkata-kata.


Dan tak lama kemudian Rama berlari dari arah belakangku dan berhenti disamping Alfa. Nafasnya tak beraturan. “Val...”


“Hey, hey ada apa sebenarnya ini?!” Aku panik.






Yuu-chan


Read More... Firasat

Rabu, 04 Januari 2012

Another Side


Aku melamun. Menatap kosong keluar jendela. Menarik nafas. Siapa ya? Aku tahu aku pernah melihatnya di suatu tempat, tapi dimana? Berkutat dengan pikranku. Ini sudah jam pelajaran ke-4, tapi mereka belum juga kembali. Fuh. Aku membuang nafas. Kenapa Hazel juga jadi ikut-ikutan bolos? Padahal aku tadi menyuruhnya untuk mencari Alfandi, tapi kenapa malah ikut menghilang? Dasar anak itu. Kakak kembarnya, Lorin sudah meracau sedari tadi. Ia duduk tepat di belakangku , hingga aku tak bisa konsentrasi menangkap pelajaran.

Bel istirahat berbunyi. Aku memutuskan tinggal di kelas, sedang Lorin langsung pergi mencari adik kembarnya. Mereka memang sulit dipisahkan. Tapi tak lama kemudian mereka bertiga kembali.

"Iya Alfa yang bilang gitu, ya kan Al?"  Hazel yang sedang menceritakan sesuatu yang jelas aku tak tahu pada Lorin. Wajah Hazel riang sekali, dan Lorin pun ikut tersenyum, sedang Alfandi hanya diam tak menjawab. Cuek seperti biasa.

Alfa? Sejak kapan Hazel memanggil Alfandi hanya dengan Alfa. Aku baru tahu mereka ternyata seakrab itu. Lagi-lagi melihat wajahnya memaksa otakku untuk berpikir. Rasanya wajah itu tak asing. Tapi tunggu, ada yang aneh. Wajahnya agak lebam dan biru-biru. Tapi aku tak dapat melihatnya dengan jelas. Ia berjalan sambil menundukkan kepalanya menghampiri mejanya yang berada tepat di depan mejaku. Aku langsung berdiri menghampirinya. Dia terlihat kaget dan mengangkat wajahnya, memandangku. Aku menatapnya cemas. Kucoba pegang pipinya yang lebam.

"Alfandi kenapa? Kenapa biru-biru gini?" Dia memalingkan wajahnya. Diam. "Oh maaf." Sontak aku melepaskan tanganku dari pipinya. Mungkin dia berfikir bahwa aku berlaku sok akrab, padahal kenyataannya kita hanya sebatas teman sekolah biasa.

Tapi dia menatapku lagi, menarik tanganku sebelum sempat jatuh. Dan berkata, "Panggil aku 'Al' ya.." Ia tersenyum.


"Oh..i iya." Eh, kenapa orang ini tiba-tiba jadi begini? Aku heran. Oh mungkin dia merasa kesepian. Dia hanya ingin lebih akrab dengan teman-temannya. Aku pun membalas senyumannya. Hazel dan Lorin tak henti-hentinya tersenyum menyeringai. Kenapa mereka?

Aku bertanya lagi pada Alfandi. Maksudku Al. "Trus wajah kamu kenapa? Bisa sampe biru-biru gitu? Trus yang ini kenapa pake plester? Berdarah ya?" Tak henti-hentinya aku mencermati wajahnya. Dan aku pun sadar bahwa  aku mulai cerewet.

Ia tersenyum lagi, yang jelas-jelas membuat wajahnya semakin tampan meski agak lebam dan biru-biru disana-sini. "Gapapa, biasa masalah laki-laki."

"Tadi aja waktu di bukit, aku yang nanya dijawabnya sambil cuek. Sekarang Ley yang nanya dijawab sambil senyum. Huh, cowok!" Protes Hazel. Dia menjulurkan lidahnya ke arah Al. Al langsung memelototinya tanpa ampun. Aku pun tertawa.

Eh tunggu, kini aku berdiri di hadapannya, wajahnya jadi terlihat begitu jelas dan aku semakin merasa aku pernah melihatnya di suatu tempat. Mataku berkaca-kaca. Aduh kenapa? "Eh sorry, kayanya kelilipan deh." Sadar bahwa Al memperhatikanku.

"Tenang Ley, biru-biru gitu ma, 2 minggu juga sembuh. Ga akan mati ko si Alfa." Goda Hazel.
"Ciee.. baru kenal tapi udah kaya sepasang kekasih, hahaha." Lorin pun tak mau kalah. Mereka berdua tertawa. Awas saja mereka, pulang tinggal nama.

Tepat pukul 2 siang sekolah berakhir. Tak disangka, sekarang aku lebih dekat dengan laki-laki yang dianggap paling dingin dan jutek di seantero sekolah. Selama pelajaran dia menceritakan padaku tentang penyebab lebam-lebam di wajahnya melalui sobekan kertas. Ternyata dia dipukuli oleh anak 10 dan 11 yang bersatu dalam sebuah geng yang aku pikir itu konyol. Penyebabnya hanya karena Pemimpin mereka ditolak cintanya karena gadis yang di sukainya menyukai Alfandi. Huh, sungguh tak mencerminkan sikap siswa SMA! Memalukan.

Tak hanya itu saja. Sepulang sekolah aku mampir terlebih dahulu ke rumah Rama. Jujur saja, aku baru tahu bahwa Al, sepupu Rama ini tinggal di rumah Rama. Tentu saja bibi senang melihat kedatanganku. Disana, Al banyak bercerita kepadaku. Tentang kepindahannya, Ayahnya, Paman dan Bibi, dan bahkan tentang Rama dan Fath. Al terlihat berbeda sekali dengan saat dia di sekolah. Dingin. Tak berekpresi. Disini ia tak tanggung-tanggung memperlihatkan senyumnya berkali-kali dan bahkan tertawa di depanku. Sungguh sisi lain yang tak dapat orang lihat selain aku. Sebenarnya walaupun di sekolah Al tak pernah bersikap dingin dan cuek kepadaku. Sampai minggu lalu aku menyadari bahwa sikapnya itu hanya ia tunjukkan kepadaku. Sempat aku memperhatikannya, pernah dia sengaja tidur di kelas demi menghindari beberapa siswi yang mencoba berkenalan dengannya. Ketika orang lain bertanya padanya, dia menjawab dengan nada datar bahkan terdengar dingin dan agak kasar. Tipe orang yang mudah sekali menyinggung hati orang. Dia selalu sendiri atau sengaja sendiri, aku tak tahu. Maka tak heran mengapa tadi Hazel terus menggodaku. Karena cara Al berbicara kepadaku dan kepada Hazel sangat berbeda jauh. Aku juga tak tahu kenapa hanya kepadaku?
Malam tiba, aku sudah berada di rumah. Rama meneleponku. Dia minta maaf saat aku berada di rumahnya tadi dia tak bisa menemuiku, karena sibuk mempersiapkan tes masuk Universitas. Aku mengerti. Hanya tinggal 6 bulan hingga ia lulus dari SMA. Rama memutuskan untuk kuliah di Ibukota kelak. Aku pasti merindukannya.

"Nanti kalo aku udah pindah ke Ibukota, jaga diri baik-baik yah. Jangan kebanyakan ngelamun, juga ketiduran di kereta ato bis. Tar ga ada yang jemput kamu lagi."
"Oh terimakasih bapa atas sindirannya." Aku tersinggung. Rama tertawa. "Kamu juga disana baik-baik. Dari sekarang belajar masak biar gak gosong lagi. Blee.. Masak telor aja sampe item. Memalukan."
"Ohoho, terimakasih juga ibu atas sindirannya." Aku tertawa.
"Kendaliin emosi, jangan sampe terpancing sama hal-hal sepele. Sebisa mungkin selesein masalah dengan otak dingin." Aku serius.
"Iya, aku tau. Kejadian itu gak kan terulang lagi. Tenang aja."
"Aku pasti rindu Rama." Air mataku mulai menetes. Haha, yah aku terbilang perempuan cengeng. Aku dan Rama, selama 15 tahun ini tak pernah terpisah. Teman bermainku. Sekaligus pelindungku. Wajar kalau aku sedih jika suatu saat harus berpisah dengannya.
Rama terdiam cukup lama. "Hey, mulai sekarang belajar panggil aku Ka Rama ato Kaka. Gini-gini aku lebih tua 2 taun dari kamu tau." Ia tahu aku sedih dan berusaha mengalihkan arah pembicaraan.
"Gak mau. Sekali Rama tetep Rama. Blee.." Aku menjulurkan lidah meski aku tahu Rama tak kan melihatnya. Aku tersenyum lagi.
"Masih ada 6 bulan. Kita bisa pake buat puas-puasin maen bareng. Hehe." Seringainya.
"Kaya yang bakal keterima aja tu di Universitas. Lagian ngaco, 6 bulan itu buat belajar persiapan ujian bukan buat maen."
Rama tertawa lagi. "Wah kamu ngedo'ain aku biar ga keterima yah? Awas ya kalo gak keterima berarti gara-gara kamu. Iya iya tau, belajar sambil bermain kan? Haha." Orang ini sangat suka bergurau. Ingin sekali aku memukul kepalanya. "Mmh Val... aku juga pasti rindu kamu." 

Hening. Lalu hujan pun turun. Malam makin gelap pekat tanpa sinar rembulan. Aku tertidur dengan pipi yang basah.


Yuu-Chan


Read More... Another Side

Selasa, 03 Januari 2012

Bukan Pengecut

Siang itu, Aku pulang ke rumah dalam keadaan babak belur. Rama membantuku berjalan dan membawakan tasku. Bibi terlihat sangat terkejut.

"Aku mohon jangan bilang apa-apa ke Papa soal ini." Aku meminta pada bibi sambil berlalu pergi menuju kamar. Aku melemparkan badanku diatas kasur. Bibi pasti bertanya-tanya pada Rama soal apa yang terjadi padaku hari ini.

"Tiba-tiba aja ada beberapa anak yang ngajak berantem, tapi ngga di tanggap sama Alfa. Eh mereka langsung mukulin Alfa. Tapi Alfa diem aja. Gak ngelawan. Untung Rama datang. Huh dasar anak-anak kecil, mereka adik kelas Rama semua, kelas 10 sama kelas 11. Mereka langsung pergi pas liat Rama datang." Terdengar suara Rama yang berusaha menjelaskan apa yang terjadi pada Bibi. Aku bukannya takut pada mereka hingga tak berani melawan. Tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak berkelahi lagi. Dan janji seorang pria harus ditepati. Kalau tidak, dia tak ubahnya seorang pengecut. Yah untunglah Rama dan teman-temannya yang duduk dikelas 12 itu datang, dan mereka semua berlarian ketakutan. Kalau tidak, mungkin saat ini aku sudah ada di alam lain.


Aku dengar Rama dan teman-temannya memang yang paling ditakuti di sekolah, terutama Rama. Pernah sekali Rama hampir memukul mati om-om demi melindungi adik perempuannya. Om itu hampir melakukan pelecehan seksual terhadap adiknya yang masih duduk di kelas 1 SMP itu. Ia tak dapat mengendalikan emosinya. Adiknya pun tak dapat menghentikannya, Rama tetap memukul om tersebut walaupun dia sudah tak sadarkan diri. Dan hingga akhirnya Valerie datang dan dapat menenangkannya. Hm gadis itu lagi. Kabar tersebut cepat menyebar tak hanya di sekolahnya saja tapi juga sampai ke sekolah lain. Bahkan sampai ke sekolahku yang berada di luar kota. Sampai sekarang tak ada seorang pun yang berani melawan Rama.

Aku memegang pipiku. Sial, sakit sekali. Huh, kalau saja Papa tahu, bisa-bisa aku dipindahkan lagi ke kota yang lebih jauh. Papa tak boleh tahu tentang hal ini. Aku mencoba memejamkan mata dan akhirnya terlelap.

Aw, pipiku nyut-nyutan.  Aku membuka mata, sudah pagi ternyata. Kulihat disamping tempat tidurku ada mangkok berisi air dan handuk kecil. Sepertinya bibi merawat lukaku ketika aku tidur. Aku berkaca di toilet. Ada plester di pipiku. Terimakasih bibi. Ternyata seorang ibu itu seperti ini ya. Aku tersenyum.
"Ka Alfa udah bangun?" Fath, adik Rama masuk ke kamarku.
"Iya, kenapa Fath?" Aku menjawab dari dalam toilet.
"Ini sarapan buat ka Al."
"Oh ok, taro aja di meja."
"Ka, kata mama hari ini ga usah sekolah dulu, besok aja, biar pipinya sembuh dulu."
Aku keluar dari dalam toilet. "Ga papa ko, Al sekolah aja. Cuma bengkak dikit." Aku tersenyum.
"Oh ok deh tar Fath bilang mama." Seraya keluar dari dalam kamar dan menutup pintu.

Pagi yang tak begitu menyenangkan. Hari ini tak hanya siswi-siswi yang biasanya selalu memandangku ketika berjalan tapi juga para siswa. Hampir seluruh isi sekolah menatapku. Mungkin karena wajahku yang biru-biru ini.

Jam pelajaran kedua aku membolos. Aku menemukan tempat yang nyaman di belakang sekolah. Bukit rumput kecil. Aku bebaring disana dan akhirnya tertidur. Tak lama kemudian aku mendengar suara perempuan memanggil namaku. Oh aku kenal suara itu. Teman sekelasku. Si kembar yang selalu bersama Valerie. Tapi saat itu dia hanya seorang saja, tak bersama kembarannya. Namanya, entahlah aku tak tahu.
"Hey Alfandi. Lagi apa di situ? Ko bolos?" Dia menghampiriku dan duduk di sebelahku. "E eh? kenapa wajahmu? Ko biru-biru?"
"Ngga kenapa-napa, biasa masalah laki-laki" Huft, syukurlah teman-teman sekelasku belum ada yang 'ngeh' dengan wajah babak belurku ini.
"Huh, kenapa sih laki-laki itu doyan berantem." Protesnya.
"Hey kamu temen sekelasku kan?" Aku tak menanggapi protesnya.
"Ya ampuuunnnn... Kamu udah 2 minggu sekolah di sini tapi masih nanya 'kamu temen sekelasku kan'. Ingetan kamu jelek ya?"
"Bukan jelek, tapi emang males nginget yang gak penting."
"Apa? Ih ga sopan banget sih. Untung aku bukan orang yang gampang marah."
"Sorry, aku mang to the point orangnya. Eh kamu temen deket Erie kan yah? Aku suka liat kalian jalan bareng-bareng."
"Erie? Kalian sedeket itu?"
"Maksudnya?"
"Yang manggil dia 'Erie' tu cuma keluarganya aja, Ka Rama aja yang jadi temen kecilnya manggil dia 'Val'. Nih ya kalo di sekolah dia itu dipanggilnya 'Val', 'Vey', 'Ley' dan lain-lain. Gak ada yang manggil 'Erie'."
"Suka-suka dong, mang ada Undang-Undangnya kalo cuma keluarga yang manggil dia 'Erie', selain keluarga di haramin." Aku agak kesal.
"Haha." Dia tertawa. "Ya nggalah, cuma orang lain pasti mikirnya kalian deket banget, gituu. Ah kamu tu dibilangin juga. Hm, jangan-jangan suka yaa? Tiba-tiba ngomongin dia. Cie.. Kamu juga waktu pertama masuk, udah ngobrol sama si Ley sambil senyum. Kalo murid yang laen mau kenalan, kamu jutekin. Udah kuduga emang ada apa-apanya ni." Dia berusaha menggodaku.
"Bukan. Sembarangan. Cuma pengen nanya. Akhir-akhir ini dia punya masalah ga?"
"Hm.. Setau aku sih ngga. Kenapa?"
"Kalo dua minggu lalu?"
"Ngga punya perasaan, kenapa sih? "
"Ngga, cuma nanya aja."
"Kenapa gak tanya aja sama Ka Rama? Mereka kan deket banget. Ato kalo ngga sama orangnya langsung, biar jelas jawabannya. Mau aku tanyain?"
"Eh gak usah."

Lalu kalau begitu, mengapa saat itu dia menangis? Apa cuma mimpi buruk biasa? Aku juga pernah menanyakan hal ini pada Rama. Dan jawabannya sama. She's fine. Ah sudahlah, kenapa aku jadi memikirkannya? Tapi jujur saja keingintahuanku tentang hal ini menguras pikiranku.

"Oh ya nama kamu siapa?"
"Kenalin, Hazel." Dia menjabat tanganku.


Yuu-chan

Read More... Bukan Pengecut

No Matter What They Say, I'm Just Me

"Mmm. Aku suka sama kamu, kamu mau ga jalan bareng aku?" Seorang gadis menyatakan rasa sukanya padaku dengan malu-malu. Wajahnya terlihat memerah.
"Jalan kemana?" Jawabku polos dan datar.
"Ma maksudnya, kamu mau ga jadi pacarku?"  Wajahnya semakin memerah. Ia menundukkan kepala.
"Mmm, maaf tapi aku ga kenal kamu..." Baru saja gadis itu ingin berkata, mungkin begini 'Kita bisa kenalan sambil pacaran', tapi belum sempat karena tertahan kalimatku selanjutnya. "Dan lagi aku ga suka cewek yang lebih tua." Mungkin agak keterlaluan. Tapi itulah, aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya. Gadis itu duduk di kelas 11.
Gadis itu sontak mengangkat kepalanya seraya menunjukkan ekspresi tak suka, jelas ia tersinggung. Ia langsung berlari sambil menangis. Yah mungkin aku terbilang cowok cuek dan sadis. Tapi bukan itu sebenarnya, aku hanya tak suka basa-basi. Bagiku itu mirip dengan berbohong. Aku lebih suka berkata langsung pada intinya, sehingga dapat meminimalisirkan kesalahpahaman. Kalau memang aku suka , aku pasti bilang suka. Tapi kalau aku tak suka, ya tak bisa di paksakan dan mengatakan dengan jujur kalau aku tak suka. Mungkin sifat itu yang membuatku selalu terasing dari lingkungan. Tak punya teman. Tapi aku memang tak membutuhkannya kok. Selama aku nyaman dengan keadaanku yang selalu sendiri.


Sudah 2 minggu aku sekolah di sini. Dan sudah ada 5 orang gadis yang menyatakan sukanya padaku. Jelas mereka aku tolak semua. Hah, aku malas dan tak tertarik untuk pacar-pacaran. Entahlah aku tak mengerti apa yang mereka suka dariku? Aku tak begitu istimewa. Dan aku menilai diriku sendiri biasa saja, tak ada yang perlu dibanggakan. Aku juga tak berlaku sok kecakepan.

Hampir setiap aku berjalan di lorong sekolah, siswi-siswi yang sedang berdiri-diri sambil mengobrol itu langsung menempelkan pandangannya padaku, mengikuti arah kemanaku berjalan, dan aku merasa sangat terganggu.

"Iyalah dia punya tampang. Keliatannya juga orang berada. Wajar dong baru dua minggu sekolah disini udah dikejar-kejar para cewek. Pasti dia besar kepala sekarang, huh." Itu hanya satu dari sekian banyak siswa laki-laki yang mengumpat tentangku di belakangku. Tapi aku tak peduli. Yah aku tahu hanya orang-orang sirik yang berlaku seperti itu.

Tapi..
"Hey! Ngomongin orang sembarangan! Kalau gak tau apa-apa diem deh. Emang dia lebih cakep dari kalian yang busuk ama omangan kalian. Huh." Ada juga yang membelaku di belakang. Aku jadi tersenyum sendiri dari kejauhan. Ya dari awal sejak aku pertama bertemu dengannya aku merasa gadis itu berbeda. Valerie...

Kalau aku perhatikan, akhir-akhir ini dia sudah tak menusukkan tatapan tajamnya padaku. Di kelas dia fokus dengan pelajaran. Ia juga tak pernah sengaja mendekatiku. Tanpa sengaja aku jadi memperhatikannya. Badannya yang tak terlalu tinggi, mungkin sekitar 150 cm. Kulit yang putih. Rambut yang panjang berwarna coklat tua. Matanya yang bulat tapi tajam. Senyuman yang manis. Dan rasa kemanusiaannya yang sangat tinggi. Aku makin penasaran dengannya. Terlebih jika aku mengingat kejadian di bis saat ia meneteskan air mata dalam tidurnya. Aku bahkan tak pernah menyangka akan bertemu dengannya lagi di rumah Rama dan bahkan pindah ke sekolahnya. Jika saat itu aku tahu dia hendak ke rumah Rama sudah barang tentu dia kubangunkan dan kita bisa pergi bersama. Haha, apa yang kupikirkan.



Bel sekolah berbunyi tepat pukul 2 siang. Seluruh siswa berhamburan keluar dari kelas bagai semut-semut yang keluar dari sarangnya. Siang yang panas. Namun ada yang lebih panas. Sekumpulan siswa berwajah preman beridiri tepat di depanku ketika aku baru saja keluar dari gerbang sekolah. Terlihat beberapa kakak kelas dan yang satu angkatan denganku mendengus ke arahku. Aku hanya membalas dengan senyuman sinis.  Hah, dasar anak-anak kecil pikirku.


Yuu-chan

Read More... No Matter What They Say, I'm Just Me