Selasa, 03 Januari 2012

Bukan Pengecut

Siang itu, Aku pulang ke rumah dalam keadaan babak belur. Rama membantuku berjalan dan membawakan tasku. Bibi terlihat sangat terkejut.

"Aku mohon jangan bilang apa-apa ke Papa soal ini." Aku meminta pada bibi sambil berlalu pergi menuju kamar. Aku melemparkan badanku diatas kasur. Bibi pasti bertanya-tanya pada Rama soal apa yang terjadi padaku hari ini.

"Tiba-tiba aja ada beberapa anak yang ngajak berantem, tapi ngga di tanggap sama Alfa. Eh mereka langsung mukulin Alfa. Tapi Alfa diem aja. Gak ngelawan. Untung Rama datang. Huh dasar anak-anak kecil, mereka adik kelas Rama semua, kelas 10 sama kelas 11. Mereka langsung pergi pas liat Rama datang." Terdengar suara Rama yang berusaha menjelaskan apa yang terjadi pada Bibi. Aku bukannya takut pada mereka hingga tak berani melawan. Tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak berkelahi lagi. Dan janji seorang pria harus ditepati. Kalau tidak, dia tak ubahnya seorang pengecut. Yah untunglah Rama dan teman-temannya yang duduk dikelas 12 itu datang, dan mereka semua berlarian ketakutan. Kalau tidak, mungkin saat ini aku sudah ada di alam lain.


Aku dengar Rama dan teman-temannya memang yang paling ditakuti di sekolah, terutama Rama. Pernah sekali Rama hampir memukul mati om-om demi melindungi adik perempuannya. Om itu hampir melakukan pelecehan seksual terhadap adiknya yang masih duduk di kelas 1 SMP itu. Ia tak dapat mengendalikan emosinya. Adiknya pun tak dapat menghentikannya, Rama tetap memukul om tersebut walaupun dia sudah tak sadarkan diri. Dan hingga akhirnya Valerie datang dan dapat menenangkannya. Hm gadis itu lagi. Kabar tersebut cepat menyebar tak hanya di sekolahnya saja tapi juga sampai ke sekolah lain. Bahkan sampai ke sekolahku yang berada di luar kota. Sampai sekarang tak ada seorang pun yang berani melawan Rama.

Aku memegang pipiku. Sial, sakit sekali. Huh, kalau saja Papa tahu, bisa-bisa aku dipindahkan lagi ke kota yang lebih jauh. Papa tak boleh tahu tentang hal ini. Aku mencoba memejamkan mata dan akhirnya terlelap.

Aw, pipiku nyut-nyutan.  Aku membuka mata, sudah pagi ternyata. Kulihat disamping tempat tidurku ada mangkok berisi air dan handuk kecil. Sepertinya bibi merawat lukaku ketika aku tidur. Aku berkaca di toilet. Ada plester di pipiku. Terimakasih bibi. Ternyata seorang ibu itu seperti ini ya. Aku tersenyum.
"Ka Alfa udah bangun?" Fath, adik Rama masuk ke kamarku.
"Iya, kenapa Fath?" Aku menjawab dari dalam toilet.
"Ini sarapan buat ka Al."
"Oh ok, taro aja di meja."
"Ka, kata mama hari ini ga usah sekolah dulu, besok aja, biar pipinya sembuh dulu."
Aku keluar dari dalam toilet. "Ga papa ko, Al sekolah aja. Cuma bengkak dikit." Aku tersenyum.
"Oh ok deh tar Fath bilang mama." Seraya keluar dari dalam kamar dan menutup pintu.

Pagi yang tak begitu menyenangkan. Hari ini tak hanya siswi-siswi yang biasanya selalu memandangku ketika berjalan tapi juga para siswa. Hampir seluruh isi sekolah menatapku. Mungkin karena wajahku yang biru-biru ini.

Jam pelajaran kedua aku membolos. Aku menemukan tempat yang nyaman di belakang sekolah. Bukit rumput kecil. Aku bebaring disana dan akhirnya tertidur. Tak lama kemudian aku mendengar suara perempuan memanggil namaku. Oh aku kenal suara itu. Teman sekelasku. Si kembar yang selalu bersama Valerie. Tapi saat itu dia hanya seorang saja, tak bersama kembarannya. Namanya, entahlah aku tak tahu.
"Hey Alfandi. Lagi apa di situ? Ko bolos?" Dia menghampiriku dan duduk di sebelahku. "E eh? kenapa wajahmu? Ko biru-biru?"
"Ngga kenapa-napa, biasa masalah laki-laki" Huft, syukurlah teman-teman sekelasku belum ada yang 'ngeh' dengan wajah babak belurku ini.
"Huh, kenapa sih laki-laki itu doyan berantem." Protesnya.
"Hey kamu temen sekelasku kan?" Aku tak menanggapi protesnya.
"Ya ampuuunnnn... Kamu udah 2 minggu sekolah di sini tapi masih nanya 'kamu temen sekelasku kan'. Ingetan kamu jelek ya?"
"Bukan jelek, tapi emang males nginget yang gak penting."
"Apa? Ih ga sopan banget sih. Untung aku bukan orang yang gampang marah."
"Sorry, aku mang to the point orangnya. Eh kamu temen deket Erie kan yah? Aku suka liat kalian jalan bareng-bareng."
"Erie? Kalian sedeket itu?"
"Maksudnya?"
"Yang manggil dia 'Erie' tu cuma keluarganya aja, Ka Rama aja yang jadi temen kecilnya manggil dia 'Val'. Nih ya kalo di sekolah dia itu dipanggilnya 'Val', 'Vey', 'Ley' dan lain-lain. Gak ada yang manggil 'Erie'."
"Suka-suka dong, mang ada Undang-Undangnya kalo cuma keluarga yang manggil dia 'Erie', selain keluarga di haramin." Aku agak kesal.
"Haha." Dia tertawa. "Ya nggalah, cuma orang lain pasti mikirnya kalian deket banget, gituu. Ah kamu tu dibilangin juga. Hm, jangan-jangan suka yaa? Tiba-tiba ngomongin dia. Cie.. Kamu juga waktu pertama masuk, udah ngobrol sama si Ley sambil senyum. Kalo murid yang laen mau kenalan, kamu jutekin. Udah kuduga emang ada apa-apanya ni." Dia berusaha menggodaku.
"Bukan. Sembarangan. Cuma pengen nanya. Akhir-akhir ini dia punya masalah ga?"
"Hm.. Setau aku sih ngga. Kenapa?"
"Kalo dua minggu lalu?"
"Ngga punya perasaan, kenapa sih? "
"Ngga, cuma nanya aja."
"Kenapa gak tanya aja sama Ka Rama? Mereka kan deket banget. Ato kalo ngga sama orangnya langsung, biar jelas jawabannya. Mau aku tanyain?"
"Eh gak usah."

Lalu kalau begitu, mengapa saat itu dia menangis? Apa cuma mimpi buruk biasa? Aku juga pernah menanyakan hal ini pada Rama. Dan jawabannya sama. She's fine. Ah sudahlah, kenapa aku jadi memikirkannya? Tapi jujur saja keingintahuanku tentang hal ini menguras pikiranku.

"Oh ya nama kamu siapa?"
"Kenalin, Hazel." Dia menjabat tanganku.


Yuu-chan