Bel istirahat berbunyi. Aku memutuskan tinggal di kelas, sedang Lorin langsung pergi mencari adik kembarnya. Mereka memang sulit dipisahkan. Tapi tak lama kemudian mereka bertiga kembali.
"Iya Alfa yang bilang gitu, ya kan Al?" Hazel yang sedang menceritakan sesuatu yang jelas aku tak tahu pada Lorin. Wajah Hazel riang sekali, dan Lorin pun ikut tersenyum, sedang Alfandi hanya diam tak menjawab. Cuek seperti biasa.
Alfa? Sejak kapan Hazel memanggil Alfandi hanya dengan Alfa. Aku baru tahu mereka ternyata seakrab itu. Lagi-lagi melihat wajahnya memaksa otakku untuk berpikir. Rasanya wajah itu tak asing. Tapi tunggu, ada yang aneh. Wajahnya agak lebam dan biru-biru. Tapi aku tak dapat melihatnya dengan jelas. Ia berjalan sambil menundukkan kepalanya menghampiri mejanya yang berada tepat di depan mejaku. Aku langsung berdiri menghampirinya. Dia terlihat kaget dan mengangkat wajahnya, memandangku. Aku menatapnya cemas. Kucoba pegang pipinya yang lebam.
"Alfandi kenapa? Kenapa biru-biru gini?" Dia memalingkan wajahnya. Diam. "Oh maaf." Sontak aku melepaskan tanganku dari pipinya. Mungkin dia berfikir bahwa aku berlaku sok akrab, padahal kenyataannya kita hanya sebatas teman sekolah biasa.
Tapi dia menatapku lagi, menarik tanganku sebelum sempat jatuh. Dan berkata, "Panggil aku 'Al' ya.." Ia tersenyum.
"Oh..i iya." Eh, kenapa orang ini tiba-tiba jadi begini? Aku heran. Oh mungkin dia merasa kesepian. Dia hanya ingin lebih akrab dengan teman-temannya. Aku pun membalas senyumannya. Hazel dan Lorin tak henti-hentinya tersenyum menyeringai. Kenapa mereka?
Aku bertanya lagi pada Alfandi. Maksudku Al. "Trus wajah kamu kenapa? Bisa sampe biru-biru gitu? Trus yang ini kenapa pake plester? Berdarah ya?" Tak henti-hentinya aku mencermati wajahnya. Dan aku pun sadar bahwa aku mulai cerewet.
Ia tersenyum lagi, yang jelas-jelas membuat wajahnya semakin tampan meski agak lebam dan biru-biru disana-sini. "Gapapa, biasa masalah laki-laki."
"Tadi aja waktu di bukit, aku yang nanya dijawabnya sambil cuek. Sekarang Ley yang nanya dijawab sambil senyum. Huh, cowok!" Protes Hazel. Dia menjulurkan lidahnya ke arah Al. Al langsung memelototinya tanpa ampun. Aku pun tertawa.
Eh tunggu, kini aku berdiri di hadapannya, wajahnya jadi terlihat begitu jelas dan aku semakin merasa aku pernah melihatnya di suatu tempat. Mataku berkaca-kaca. Aduh kenapa? "Eh sorry, kayanya kelilipan deh." Sadar bahwa Al memperhatikanku.
"Tenang Ley, biru-biru gitu ma, 2 minggu juga sembuh. Ga akan mati ko si Alfa." Goda Hazel.
"Ciee.. baru kenal tapi udah kaya sepasang kekasih, hahaha." Lorin pun tak mau kalah. Mereka berdua tertawa. Awas saja mereka, pulang tinggal nama.
Tepat pukul 2 siang sekolah berakhir. Tak disangka, sekarang aku lebih dekat dengan laki-laki yang dianggap paling dingin dan jutek di seantero sekolah. Selama pelajaran dia menceritakan padaku tentang penyebab lebam-lebam di wajahnya melalui sobekan kertas. Ternyata dia dipukuli oleh anak 10 dan 11 yang bersatu dalam sebuah geng yang aku pikir itu konyol. Penyebabnya hanya karena Pemimpin mereka ditolak cintanya karena gadis yang di sukainya menyukai Alfandi. Huh, sungguh tak mencerminkan sikap siswa SMA! Memalukan.
Tak hanya itu saja. Sepulang sekolah aku mampir terlebih dahulu ke rumah Rama. Jujur saja, aku baru tahu bahwa Al, sepupu Rama ini tinggal di rumah Rama. Tentu saja bibi senang melihat kedatanganku. Disana, Al banyak bercerita kepadaku. Tentang kepindahannya, Ayahnya, Paman dan Bibi, dan bahkan tentang Rama dan Fath. Al terlihat berbeda sekali dengan saat dia di sekolah. Dingin. Tak berekpresi. Disini ia tak tanggung-tanggung memperlihatkan senyumnya berkali-kali dan bahkan tertawa di depanku. Sungguh sisi lain yang tak dapat orang lihat selain aku. Sebenarnya walaupun di sekolah Al tak pernah bersikap dingin dan cuek kepadaku. Sampai minggu lalu aku menyadari bahwa sikapnya itu hanya ia tunjukkan kepadaku. Sempat aku memperhatikannya, pernah dia sengaja tidur di kelas demi menghindari beberapa siswi yang mencoba berkenalan dengannya. Ketika orang lain bertanya padanya, dia menjawab dengan nada datar bahkan terdengar dingin dan agak kasar. Tipe orang yang mudah sekali menyinggung hati orang. Dia selalu sendiri atau sengaja sendiri, aku tak tahu. Maka tak heran mengapa tadi Hazel terus menggodaku. Karena cara Al berbicara kepadaku dan kepada Hazel sangat berbeda jauh. Aku juga tak tahu kenapa hanya kepadaku?
Malam tiba, aku sudah berada di rumah. Rama meneleponku. Dia minta maaf saat aku berada di rumahnya tadi dia tak bisa menemuiku, karena sibuk mempersiapkan tes masuk Universitas. Aku mengerti. Hanya tinggal 6 bulan hingga ia lulus dari SMA. Rama memutuskan untuk kuliah di Ibukota kelak. Aku pasti merindukannya.
"Nanti kalo aku udah pindah ke Ibukota, jaga diri baik-baik yah. Jangan kebanyakan ngelamun, juga ketiduran di kereta ato bis. Tar ga ada yang jemput kamu lagi."
"Oh terimakasih bapa atas sindirannya." Aku tersinggung. Rama tertawa. "Kamu juga disana baik-baik. Dari sekarang belajar masak biar gak gosong lagi. Blee.. Masak telor aja sampe item. Memalukan."
"Ohoho, terimakasih juga ibu atas sindirannya." Aku tertawa.
"Kendaliin emosi, jangan sampe terpancing sama hal-hal sepele. Sebisa mungkin selesein masalah dengan otak dingin." Aku serius.
"Iya, aku tau. Kejadian itu gak kan terulang lagi. Tenang aja."
"Aku pasti rindu Rama." Air mataku mulai menetes. Haha, yah aku terbilang perempuan cengeng. Aku dan Rama, selama 15 tahun ini tak pernah terpisah. Teman bermainku. Sekaligus pelindungku. Wajar kalau aku sedih jika suatu saat harus berpisah dengannya.
Rama terdiam cukup lama. "Hey, mulai sekarang belajar panggil aku Ka Rama ato Kaka. Gini-gini aku lebih tua 2 taun dari kamu tau." Ia tahu aku sedih dan berusaha mengalihkan arah pembicaraan.
"Gak mau. Sekali Rama tetep Rama. Blee.." Aku menjulurkan lidah meski aku tahu Rama tak kan melihatnya. Aku tersenyum lagi.
"Masih ada 6 bulan. Kita bisa pake buat puas-puasin maen bareng. Hehe." Seringainya.
"Kaya yang bakal keterima aja tu di Universitas. Lagian ngaco, 6 bulan itu buat belajar persiapan ujian bukan buat maen."
Rama tertawa lagi. "Wah kamu ngedo'ain aku biar ga keterima yah? Awas ya kalo gak keterima berarti gara-gara kamu. Iya iya tau, belajar sambil bermain kan? Haha." Orang ini sangat suka bergurau. Ingin sekali aku memukul kepalanya. "Mmh Val... aku juga pasti rindu kamu."
Hening. Lalu hujan pun turun. Malam makin gelap pekat tanpa sinar rembulan. Aku tertidur dengan pipi yang basah.
Yuu-Chan
