Selasa, 26 Juni 2012

Haru, Pilu, Sedih dan juga Rindu

Awan tebal berwarna abu tua memenuhi langit pagi. Aku tak ingat kapan terakhir kali aku melihat mentari pagi. Aku melangkah malas menuju sekolah. Sendiri. Rintik hujan mulai berjatuhan, aku membuka payungku. Pagi yang dingin. Anak-anak sekolah di belakangku berlarian, bahkan burung-burung pun berterbangan mencari tempat berteduh. Sepertinya hanya lalu lintas yang padat yang tidak peduli pada hujan pagi hari.
Pukul 06.57, aku sampai di sekolah. Seperti biasa sisi lorong-lorong kelas dipenuhi siswi-siswi yang kurang kerjaan, cengir sana cengir sini. Dan tak anehnya lagi ketika ku berjalan melewati mereka, teriak histeris langsung terdengar di sepanjang lorong. Apalagi ketika aku menolehkan pandanganku ke arah siswi-siswi kurang kerjaan itu. Menajamkan pandanganku, memperlihatkan wajah tak suka, teriakan mereka malah semakin histeris.

“Hey, dia ngeliat ke arahku! Aku!”
“Bukan! Yang dia liat aku!”
“Aduh tambah cool aja tu Alfandi.”
“Kyaa.. Alfandiii.”
Itu hanya sebagian teriakan siswi-siswi yang kudengar. Oh God! Harus ku apakan mereka? Really annoying.
Akhirnya aku sampai di kelasku, 10-4. Aku tertegun ketika melihat meja Valerie yang kosong.
“Al, ada yang nyariin tu.” Seru Fery teman sekelasku yang sedang membersihkan papan tulis.
Aku menoleh ke arah pintu. Ternyata Rama, dia menghampiriku.
“Al, berangkat sekolah ko ga nungguin aku sih, kamu ke stasiun lagi ya?”
“Hari ini ngga.”
“Dia udah mulai sekolah? Mejanya yang mana?”
“Tepat dibelakangku, dan masih kosong. Aku ragu dia datang hari ini.”
“Mm, oke deh. Kasih tau kalo kalo dia datang.”
“Oke.”
Hazel dan Lorin yang baru saja datang langsung menghampiriku.
“Rama, ngapain kesini Al? Ley udah ketemu?”
“Belum.”
Aku menundukkan kepalaku. Membenamkannya dalam pelukan lenganku. Aku kepalang bingung. Sudah dua minggu berlalu sejak kematian orang tua Valerie dan dia menghilang sejak itu. Mejanya masih saja kosong. Rama, Paman dan Bibi berusaha mencarinya namun sia-sia. Kakaknya ikut menghilang. Rumah yang ditinggalinya kosong. Aku yang hampir setiap pagi pergi ke stasiun dengan harapan ia akan datang pun mulai frustasi. Aarrggh! Where the heck is she now!
“Alfa..!!!!!!!!!” Hazel berteriak, namun aku tak menghiraukannya. Aku makin membenamkan kepalaku dalam dalam.
“Alfaaa..!!!!!!!!!!!!!!” Kali ini suara Lorin.
Aargh, ada apa dengan mereka berdua? aku mengangkat kepala. “Apa?!” kesal juga aku dibuatnya. Wajah Lorin berkaca-kaca. Kenapa?
Aku terkejut ketika aku mendapati Erie yang sedang berdiri di depan pintu. Hazel memeluknya erat sambil menangis sesenggukan. Lorin tak mau kalah, ia berlari menghampiri Erie dan ikut memeluknya. Fery yang sedang menghapus papan tulis seketika berhenti melihat kedatangan Erie, dan teman teman yang lain pun menghentikan aktifitasnya seketika. Mereka ikut menghampiri Erie, memeluknya bergantian.
Aku tak mau kalah, aku berlari ke arah pintu, menghampirinya dan langsung memeluknya erat-erat.
“Erie.. kemana aja?! Aku hampir frustasi nyari kamu. Kamu sehat kan? Tenang, semuanya pasti akan baik baik aja. Jangan ngilang lagi ya Erie.”
Erie tak menjawab apa-apa, dia hanya membalas pelukanku dan mulai menangis. Yang lain ikut memeluk kami berdua.
“Erie jangan nangis..” Seru mereka.  Haru, pilu, sedih dan rindu bercampur jadi satu. Aku tersenyum sedang mataku memerah.


Yuu-chan

Read More... Haru, Pilu, Sedih dan juga Rindu

Kamis, 17 Mei 2012

Naya


Angin berdesir menyisir daun-daun pohon kelapa. Ombak bergulung-gulung di bawah langit hitam. Aku masih terisak memusuhi takdir. Tak kusangka jalan hidupku harus berbelok melewati tikungan tajam. Seakan mimpi. Alfa yang sedari tadi duduk di sampingku hanya terpaku terdiam. Merenung memandangi langit.

Saat ini pukul 3 pagi. Sudah 5 jam kami duduk di pinggir pantai. Alfa membawaku kesini dengan motornya ketika aku bersikeras untuk pulang ke rumah tadi. Setelah sampai di pantai, segera ia menceritakan hal-hal yang terjadi ketika aku pingsan. Tak disangka aku pingsan selama 2 hari.




Ia bilang bahwa Ayah dan Ibuku sudah dimakamkan di pemakaman umum dekat rumahku. Lalu aku yang masih belum sadarkan diri sengaja dititipkan di rumah Rama oleh kakakku, karena ia harus membereskan pekerjaan kantor Ayah dan Ibu yang terpaksa ditinggalkan.

Kakakku, Naya memang kakak yang kuat dan hebat. Ia hanya berbeda 5 tahun dariku. Saat usianya menginjak 15 tahun ia sudah pergi meninggalkan rumah. Ia ingin bisa membuktikan bahwa dirinya mampu hidup sendiri tanpa orang tua. Ia bersekolah di siang hari sedang malam harinya bekerja di sebuah Restaurant Fast Food. Aku ingat hari dimana ia pergi meninggalkan rumah.

“Gak mau, Pah! Naya mau sekolah di sini aja.”

“Tapi sengaja Papa menyekolahkan kamu disana biar kamu lebih gampang masuk ke kedokteran. Lagian disana kan tinggal di rumah Bibi. Kamu gak perlu khawatir!”

“Tapi Jerman tu jauh pah! Pokonya Naya gak mau pergi!”

“NAYA! Kamu berani melawan Papa ya!”

“Pah Naya mohon.. Dokter bukan cita-cita Naya. Naya pengen kaya Papa Mama, jadi wanita karir.”

“Pah, kita gak bisa paksa dia. Kalo dia gak mau.” Ibu mencoba menenangkan Ayahku. Tapi Ayahku bersikeras dan akhirnya secara tidak langsung mengusir Kakakku dari rumah.

“Oke kalau kamu mau sekolah di sini tapi dengan syarat. Kamu harus biayain sekolah kamu sendiri. Papa ga mau biayain anak yang gak mau nurut sama Papa.”
Kak Naya langsung mengeluarkan air mata, tak percaya Ayahnya akan berkata begitu.

“Oke! Naya bisa buktiin ke Papa kalo Naya bisa. Kalo perlu Naya gak akan tinggal di sini lagi yang bisanya cuma nyusahin Papa. Maaf udah jadi anak yang gak bisa Papah banggain!”

Kakakku langsung masuk ke kamarnya, mengemasi semua barangnya. Ibuku sempat akan menghentikannya, namun ditahan oleh Ayahku. Sekilas Ayahku berbisik pada Ibu. “Biarkan, biarkan ia melakukan hal yang diinginkannya. Papa memang kecewa ia tak mau menjadi dokter. Tapi melihat keseriusannya, Papa ingin melihatnya berjuang dan membuktikan kata-katanya pada Papa. Papa ingin ia mandiri dan Papa yakin dia bisa.” Ayahku tersenyum pada Ibuku yang berurai air mata.

“Tapi anak kita kan baru 15 tahun. Gimana caranya dia hidup sendiri?!”

“Tenang Papa pasti mengawasinya.”

Akhirnya sejak itupun aku tak pernah bertemu dengan Kak Naya lagi hingga sekarang. Ibuku pernah beberapa kali mengiriminya uang untuk mencukupi kebutuhannya, namun ditolak mentah-mentah. Amplop berisi uang itu ia kirimkan kembali lewat pos ke alamat rumah kami. Aku yakin kakakku itu pasti menjalani hari-hari yang sulit. Namun tak ada yang dapat merubah tekadnya.

Kalau dipikir lagi mungkin saat ini kakakkulah yang paling bersedih. Dia akhirnya dapat bertemu orang tuanya kembali ketika mereka sudah tiada. Aku tak dapat membayangkan bagaimana perasaannya. Sesal juga sedih pastilah bercampur menjadi satu.

Tak terasa pagi menjelang. Matahari terbit di ujung laut sungguh indah. Air laut berkilauan. Aku berhenti menangis. Takjub akan keindahannya.

“Habis gelap pastilah terang, begitu juga hidup. Habis pedih pasti ada kebahagiaan yang menanti.” Alfa berkata sambil memandang matahari terbit, lalu menoleh ke arahku dan tersenyum. “Semangat ya Erie, kehidupanmu yang sesungguhnya baru saja dimulai.”

Aku menghapus air mata, mengangguk pelan ke arahnya. “Makasih Al.”






Yuu-chan


Read More... Naya

Rabu, 28 Maret 2012

Hitam


Aku tahu sejak semula memang ada yang aneh. Untuk apa kakakku yang sudah lama tak kutemui tiba-tiba menyusulku ke sekolah. Tak kusangka ternyata...

Aku terus berlari sekuat tenaga dengan badan basah kuyup. Baju sekolahku sungguh tak tertolong. Air mataku tak jua berhenti. Pikiranku terbang melayang-layang. Dalam hati terus berdo’a semoga semuanya baik-baik saja. Tidak, semuanya pasti baik-baik saja. Iya, pasti.

Rama, Alfa dan Kakakku mengikutiku dari belakang, mereka sama paniknya. Berlari menyusuri lorong-lorong bercat putih pucat. Aku sempat heran mengapa dinding-dinding ini di cat dengan warna seperti ini? Mereka seakan bersedih. Seakan tahu apa yang akan terjadi. Mengandaskan harapan orang.


Segera kudapati Paman dan Bibi (Ayah dan Ibu Rama) yang juga terlihat sangat cemas berdiam diri di depan sebuah pintu yang terbuat dari kaca.

“Kritis.” Kata Bibi singkat, menjelaskan keadaan orang tuaku saat ini. Bibirnya gemetar. “Masih di ICU.” Mengusap-usap lembut lenganku.

Aku yang tak percaya langsung terdiam. Air mataku menjelaskan kesedihanku. Aku terisak cukup keras. “Ma..ma, Pa..pa.. Hiks.....Hiks......Hiks.....” Lidahku tak mampu berkata-kata lagi.

Kakakku sama sedihnya denganku, namun dia berusaha mengontrol emosinya. Memelukku dan berkata, “Tenang semuanya pasti baik-baik aja, Kakak yakin.” Aku masih terisak.

Ayah dan Ibuku diketahui tertabrak oleh truk pengangkut barang yang supirnya terkantuk-kantuk. Mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah rapat di luar kota.

Dokter keluar dari dalam ruang ICU. Aku langsung menginterogasinya, “Dokter, Mama Papa saya gapapa kan? Iya kan dok? Dok? JAWAB DOK!!!” Aku mengguncang-guncangkan baju lengan dokter dengan kasar. Tak sabar, panik, dan juga takut. Kakakku menenangkanku.

Wajahnya, Aku benci wajahnya. Ekspresi apa itu?! Aku benci. Mengapa tak katakan saja orang tuaku baik-baik saja?! Akhirnya dokter itupun angkat bicara. Namun aku tak mengharapkan kata-kata yang keluar dari mulutnya. “Maaf kami sudah berusaha, namun takdir berkata lain.”

Aku berteriak sejadinya. Memukuli dokter dengan tenaga yang tersisa. Rama menghentikanku. Kakakku terduduk tak percaya. Menangis. Semua yang berada di sana sama sedihnya denganku. Paman memeluk Bibi yang menangis. Alfa terdiam bersandar di dinding yang dingin dan lembab itu.

Hitam.

Aku tak melihat apa-apa.

“Erie.. Pagi! Kamu mau sekolah gak sih?!” Suara Ibuku yang mengomel karena Aku sulit di bangunkan.

“Mmm, iyaa...” Aku bangun dengan malas. Mengusap-usap mata. Dan pergi ke kamar mandi.

Saat aku siap untuk sarapan, kulihat Ayah dan Ibuku sudah berdandan rapi sekali dengan jas kantornya. Ayah dan Ibuku adalah seorang pekerja kantoran yang kebetulan bekerja di kantor yang sama. Tidak, aku pikir itu bukan kebetulan, tapi merupakan takdir. Tahukah kalian  mereka terjerat cinlok (Cinta Lokasi) di kantor yang akhirnya memutuskan menikah setelah satu tahun berpacaran. Ya pekerjaan mereka yang mempertemukan mereka dengan takdir hidup mereka. Kurasa memang bukan suatu kebetulan. Karena orang memiliki caranya masing-masing dalam menemukan pasangannya.

“Mama, Papa mau kemana?”

“Ke luar kota, ada rapat tentang proyek baru.” Jawab Papa yang masih sibuk dengan korannya.

“Padahal kita udah pindah ke sini biar Papa Mama deket sama kantor, tapi masih juga harus ke luar kota. Masih juga harus ditinggal.” Omelku.

“Sayang, ini rapat penting. Gak bisa ditinggalin.” Ibuku berusaha membuatku mengerti.

“Tapi kan bisa rapat di sini juga. Kenapa harus ke luar kota segala.” Rupanya aku masih belum bisa mengerti.

“Gak bisa, soalnya kita harus sekalian survey lahan di sana. Sebentar ko, gak sampe nginep-nginep. Siang juga beres. Percaya deh.” Yakin Mama.

“Bener ya. Awas lo! Aku gak mau ditinggal malem-malem lagi kayak dulu jadi kuncen rumah. Bayangkan, gadis semanis ini ditelantarkan begitu saja di rumah seorang diri tanpa ada pengawasan sedikitpun! Bayangkan Mah, Bayangkan! Gimana kalo terjadi apa-apa dengan gadis manis ini? Gak kasian ni orang tua.”

“Yee kan Mama udah bilang, nginep di rumah Rama. Biasanya juga suka nginep, salah sendiri gak mau.” Belanya sambil mengambilkan nasi goreng untukku.

“Mamaku sayang, Erie sekarang udah umur 15 taun en Rama 17 taun. Malu dong. Apa kata dunia, nginep di rumah pemuda yang bukan siapa-siapanya. Sodara juga bukan.”

“Iya deh yang udah gede.. haha. Jadi pengen ketawa. Dulu aja nempel-nempel Rama terus kalo ditinggal. Ga taunya sekarang udah punya malu ni gadis Mama. Hmmm, Rama menurut kamu gimana sekarang? Makin cakep yah? Cie.. cie.. Mana tinggi, pinter, baik juga.. Masa depan cerah tuh.” Goda Mama.

“Hoh? Enak aja. Erie sama Rama? Aduh Erie tu udah kenal banget tektek bengeknya Rama. Ga mungkin Ma.. Ga mungkin Erie suka sama dia...”

“Ekhem, debat Ibu anaknya udah nih? Hm atau curhat Ibu anak?” Goda Ayahku. Tertawa.
Kami mulai menyantap sarapan kami yang nyatanya sudah mendingin.

“Erie jangan lupa sekarang bawa payung ya. Papa liat dari subuh langit mendung banget.” Tiba-tiba Ayahku nyeletuk ketika tengah sarapan.

“Iya kayaknya bakal ujan gede. Hati-hati ya sayang. Jaga diri baik-baik.” Mamaku tiba-tiba khawatir.

Itulah kata-kata terakhir orang tuaku yang mereka ucapkan di pagi hari sebelum aku berangkat sekolah kala itu. Kata-kata yang sarat akan makna.

Akhirnya aku membuka mataku. Dimana ini? Kamar Rama? Kulihat kesamping, Bibi tertidur di sofa samping tempat tidur. Kulihat pakaian seragamku tergantung rapi di dinding. Sepertinya sudah dicuci bersih, sedang aku sekarang mengenakan piyama Rama. Agak kebesaran. Oh, jam berapa ini? Aku melirik jam waker di samping. Pukul 10 malam.

Ah iya, aku kan pingsan. Tiba-tiba air mataku mengalir lagi. Namun langsung saja aku melompat dari tempat tidur, berlari membuka pintu kamar. Melewati ruang keluarga. Ada Rama tertidur di sana, tapi Aku terus saja berlari. Membuka pintu rumah. Aku terkejut. Ada Alfa di teras sedang memandangi langit malam. Ia lalu menoleh ke arahku dan nampak terkejut.

“Erie.. Kamu udah sadar? Syukurlah. Kamu mau kemana malem-malem gini?”

“Mau pulang.” Jawabku singkat.

“Eh? Besok aja, sekarang udah malem.”

“Gak bisa, harus sekarang! Papa Mama pasti khawatir, hape aku lowbatt, pasti mereka bingung nyariin aku ada di mana. Aku harus pulang. Masih ada ko kereta jam segini.” Aku berjalan melewati Alfa. Linglung.

“Erie!!!!!! Sadar! Mereka udah...” Alfa dengan nada marahnya, namun kata-katanya tertahan.

“Haha, apaan sih. Aku ga ngerti maksud kamu.” Aku terus berjalan melewatinya.

“ERIIE SADARLAH!!!!!” Alfa membentakku. Ia marah. Tapi ketika kulihat wajahnya... ada seraut kesedihan di sana.





Yuu-chan

Read More... Hitam

Senin, 16 Januari 2012

Firasat

Aku berlari sekuat tenaga menyusuri lorong-lorong sempit. Kupikir ini hari sialku. Hari Kamis tanggal 23 Desember, ingatku. Huah, nafasku hampir habis. Aku terengah-engah. Jantungku memacu terlalu cepat. Tak bisa menyesuaikan dengan irama nafasku yang entah aku tak tahu apakah ini masih dapat disebut ‘irama’. Aku berbelok ke kanan dan kiri. Panik. Berharap tak tertangkap olehnya. Keringatku keluar butir demi butir. Bercucuran menuruni dahi dan pipiku. Aku yakin ketiakku lebih basah daripada wajahku.

Akhirnya aku menemukan drum besar untuk bersembunyi. Tidak. Bukan. Tak mungkin aku bersembunyi di dalamnya yang penuh dengan air. Aku hanya bersembunyi di belakangnya. Fuh, kucoba atur irama nafas dan detak jantungku. Tapi keringatku terus saja bercucuran. Kuintip dari balik drum itu. Sepi. Tak ada yang mengikutiku. Sepertinya dia kehilangan jejakku tadi. Untunglah. Hatiku berangsur tenang.

Anjing tetangga komplek sebelah itu memang punya kebiasaan aneh, selalu mengejar siapa-siapa yang berjalan melewati rumah majikannya. Padahal jelas-jelas itu adalah jalan umum, kenapa tak di ikat saja sih. The dog is really getting on my nerve! No, no.. tapi juga majikannya yang tak pernah sadar akan perilaku anjingnya. Jujur saja jalanan depan rumahnya kini sepi karena ulah anjingnya sendiri. Dia tak pernah memandang bulu untuk mengejar orang-orang yang tak dikenalnya. Tapi aku tak punya pilihan lain, ini satu-satunya jalan menuju stasiun kereta.

Ini sungguh di luar biasanya. Karena biasanya pada pukul 6 pagi tepat saat aku berangkat sekolah si anjing masih ngorok di kandangnya. Dan oh tidak, sekarang seragamku kotor karena aku bersandar pada drum hitam besar nan kotor itu.


Pukul 07.02 akhirnya aku sampai di sekolah. Aku beruntung Pak Rendi guru Fisika pada jam pelajaran pertama itu belum masuk ke kelas. Hazel dan Lorin terkejut mendapatiku lusuh dan tak berbentuk ini.


“Ley! Kenapa?!” Seru Hazel.


“Ngga, tadi dikejar-kejar penggemar, ngga biasanya dia bangun pagi-pagi. Aduh cape banget!” Jawabku datar. Seraya menghampiri tempat duduk.


“Ngga mungkin. Penggemar dari mana?!! Ngarang lo Ley! Hmm, tapi ganteng ga?” Lorin yang plin-plan setengah percaya.


“Ngga.” Jawabku singkat. Jelas saja, aku tak tahu standar kegantengan anjing itu sebagaimana.


“Oh jadi penggemar kamu perempuan ya Ley?! Haha sudah kuduga, aku meragukan kalo ada cowok yang suka sama kamu.” Hazel menyeringai. Haha, sial telingaku dibuat panas karenanya.


“Iya kali, aku gak tau si anjing itu cewek ato cowok.” Masih dengan ekspresi yang datar.


“Anjing? Tunggu Ley. Maksud kamu penggemar yang kamu maksud tadi itu anjing? Seekor anjing Ley?!!” Hazel berusaha menahan tawanya. Sedang Lorin masih berusaha mencerna kata-kataku. Oh, si kembar dua ini....


“IYA!” Jawabku dengan ekpresi kesal. Hazel langsung tertawa terbahak-bahak. Lorin yang akhirnya mengerti ikut tertawa. Oh, pagi yang menyebalkan. Aku menatap jendela tapi langsung saja teralihkan oleh pundak dan punggung Alfa yang bergerak-gerak sedikit. Oh tidak, bahkan Alfa menertawakanku. Dia sepertinya mati-matian menahan tawanya demi menghargai mood ku yang terlanjur hancur. Tapi biarlah, ini kali pertamanya ia tertawa di kelas. Aku tersenyum.


 Pak Rendi akhirnya masuk dengan tampang seram khasnya. Aku menatap jendela lagi. Hujan. Aku tahu hujan akan turun, karena sejak tadi subuh langit sudah mendung. Mentari tak kunjung datang meski waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Tapi, kenapa sepagi ini sudah hujan? Memang mungkin bulan ini masih musim penghujan. Tapi ini tidak seperti biasanya. Terlalu pagi. Kupandangi langit. Hitam muram. Hujan semakin deras.


Wahai langit, mungkinkah kau bersedih? Sebenarnya apa yang kau tangisi?


Tanpa kutahu ternyata langit menangisi takdirku.


Kamis, 23 Desember mungkin akan menjadi hari dan tanggal yang tak kan pernah mungkin aku lupakan .


“Valerie..” Seseorang memanggilku.


“Valerie..” Tapi aku masih dalam lamunanku. Menatap jendela.


“VALERIE MARYAM!!!” Aku tersentak. Gawat, suara ini.. Aku menoleh kesamping. Sudah kuduga Pak Rendi sudah melotot-melotot sedang wajahnya tepat berada di depan wajahku.


“Coba terangkan kembali apa yang barusan saya sampaikan!”


Gawat, bagaimana ini! Aku mengutuki diri karena tak memperhatikan materi yang disampaikan barusan. Pak Rendi masih saja memelototiku, namun yang bisa kulakukan saat ini adalah memberikan senyum termanisku, mencoba merayunya agar aku tak mendapatkan hukuman karena tak dapat menerangkan materi yang beliau pinta. Tapi tak berhasil, aku dikeluarkan dari kelas dan disuruh mengerjakan 50 soal Fisika. Buruk!


Kurasakan hari ini waktu berjalan begitu alot. Banyak hal menyebalkan yang terjadi. Jujur saja aku ingin segera mengakhiri hari ini. Wajahku sudah mengkerut sedari tadi. Hari semakin siang namun hujan belum terlihat ingin berhenti mengepung bumi. Firasat buruk itu masih juga menghantuiku.


 Akhirnya saat yang dinantikan tiba. Bel berbunyi keras sekali. Isyarat bahwa kelas berakhir. Aku bergegas keluar kelas, menuju gerbang depan sekolah. Aku ingin segera pulang. Membenamkan wajahku ke bantal, tertidur lelap dan bangun keesokan harinya. Sungguh aku ingin mengakhiri hari ini.


Tapi langkahku tertahan, aku baru sadar hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Payungku tak dapat kugunakan. Tak mungkin. Terlalu deras hingga yang terlihat didepan hampir semua terlihat putih. Kuraih handphoneku dari dalam tas. Namun percuma, lowbatt. Aku menghela nafas. Segera aku ingat, Ayah dan Ibu ada rapat di luar kota. Walaupun handphoneku menyala saat ini aku tetap tak bisa meminta mereka menjemputku. Akhirnya yang dapat kulakukan saat ini hanyalah menatap hujan.


Alfa datang dari arah sampingku. Berhenti tepat di sampingku dan menatap hujan.


“Hujan.” Gumamnya. “Kayanya belom mau berhenti deh.” Dia menoleh ke arahku.


“Eh iya, gede banget.” Aku menjawab sekenanya.


Lalu tiba-tiba suara getar handphone terdengar dari saku celana Alfa. “Eh sebentar ya.” Dia meminta ijin untuk menjawab telepon.


“Iya Ram?” Oh yang menelepon Rama ya. “Eh, iya aku lagi sama dia, kenapa?” Tiba-tiba Alfa melirikku. “Eh? Terus sekarang dimana katanya?!” Wajah Alfa tiba-tiba panik, dia terus menatapku. Ada apa sebenarnya? Firasat buruk itu muncul lagi. “Oke, oke, kita di gerbang depan sekolah. Cepet ya!” Akhirnya dia menutup teleponnya. Tatapannya tak lepas dari wajahku. “Erie..”


“Erie? Oh ya..” Aku tersenyum, baru kali ini dia memanggil namaku. Tapi jujur saja itu panggilan kesayangan keluargaku, aku kaget dia akan memanggilku seperti itu.


“Erie, sebenernya..” Wajahnya makin panik. “Sebenernya..”


Namun belum selesai Alfa menyelesaikan kalimatnya seseorang terlihat tengah berlari menembus hujan yang begitu deras dari arah luar sekolah. Baru kusadari siapa orang itu setelah dia sampai tepat dihadapanku. Basah kuyup. Aku terkejut. Lama tak berjumpa dengannya. “Kakak?”


Namun oh tidak, setelah sekian lama tak bertemu dengan kakakku, dia hanya memasang wajah dengan ekspresi yang sama seperti Alfa. Tak berkata-kata.


Dan tak lama kemudian Rama berlari dari arah belakangku dan berhenti disamping Alfa. Nafasnya tak beraturan. “Val...”


“Hey, hey ada apa sebenarnya ini?!” Aku panik.






Yuu-chan


Read More... Firasat

Rabu, 04 Januari 2012

Another Side


Aku melamun. Menatap kosong keluar jendela. Menarik nafas. Siapa ya? Aku tahu aku pernah melihatnya di suatu tempat, tapi dimana? Berkutat dengan pikranku. Ini sudah jam pelajaran ke-4, tapi mereka belum juga kembali. Fuh. Aku membuang nafas. Kenapa Hazel juga jadi ikut-ikutan bolos? Padahal aku tadi menyuruhnya untuk mencari Alfandi, tapi kenapa malah ikut menghilang? Dasar anak itu. Kakak kembarnya, Lorin sudah meracau sedari tadi. Ia duduk tepat di belakangku , hingga aku tak bisa konsentrasi menangkap pelajaran.

Bel istirahat berbunyi. Aku memutuskan tinggal di kelas, sedang Lorin langsung pergi mencari adik kembarnya. Mereka memang sulit dipisahkan. Tapi tak lama kemudian mereka bertiga kembali.

"Iya Alfa yang bilang gitu, ya kan Al?"  Hazel yang sedang menceritakan sesuatu yang jelas aku tak tahu pada Lorin. Wajah Hazel riang sekali, dan Lorin pun ikut tersenyum, sedang Alfandi hanya diam tak menjawab. Cuek seperti biasa.

Alfa? Sejak kapan Hazel memanggil Alfandi hanya dengan Alfa. Aku baru tahu mereka ternyata seakrab itu. Lagi-lagi melihat wajahnya memaksa otakku untuk berpikir. Rasanya wajah itu tak asing. Tapi tunggu, ada yang aneh. Wajahnya agak lebam dan biru-biru. Tapi aku tak dapat melihatnya dengan jelas. Ia berjalan sambil menundukkan kepalanya menghampiri mejanya yang berada tepat di depan mejaku. Aku langsung berdiri menghampirinya. Dia terlihat kaget dan mengangkat wajahnya, memandangku. Aku menatapnya cemas. Kucoba pegang pipinya yang lebam.

"Alfandi kenapa? Kenapa biru-biru gini?" Dia memalingkan wajahnya. Diam. "Oh maaf." Sontak aku melepaskan tanganku dari pipinya. Mungkin dia berfikir bahwa aku berlaku sok akrab, padahal kenyataannya kita hanya sebatas teman sekolah biasa.

Tapi dia menatapku lagi, menarik tanganku sebelum sempat jatuh. Dan berkata, "Panggil aku 'Al' ya.." Ia tersenyum.


"Oh..i iya." Eh, kenapa orang ini tiba-tiba jadi begini? Aku heran. Oh mungkin dia merasa kesepian. Dia hanya ingin lebih akrab dengan teman-temannya. Aku pun membalas senyumannya. Hazel dan Lorin tak henti-hentinya tersenyum menyeringai. Kenapa mereka?

Aku bertanya lagi pada Alfandi. Maksudku Al. "Trus wajah kamu kenapa? Bisa sampe biru-biru gitu? Trus yang ini kenapa pake plester? Berdarah ya?" Tak henti-hentinya aku mencermati wajahnya. Dan aku pun sadar bahwa  aku mulai cerewet.

Ia tersenyum lagi, yang jelas-jelas membuat wajahnya semakin tampan meski agak lebam dan biru-biru disana-sini. "Gapapa, biasa masalah laki-laki."

"Tadi aja waktu di bukit, aku yang nanya dijawabnya sambil cuek. Sekarang Ley yang nanya dijawab sambil senyum. Huh, cowok!" Protes Hazel. Dia menjulurkan lidahnya ke arah Al. Al langsung memelototinya tanpa ampun. Aku pun tertawa.

Eh tunggu, kini aku berdiri di hadapannya, wajahnya jadi terlihat begitu jelas dan aku semakin merasa aku pernah melihatnya di suatu tempat. Mataku berkaca-kaca. Aduh kenapa? "Eh sorry, kayanya kelilipan deh." Sadar bahwa Al memperhatikanku.

"Tenang Ley, biru-biru gitu ma, 2 minggu juga sembuh. Ga akan mati ko si Alfa." Goda Hazel.
"Ciee.. baru kenal tapi udah kaya sepasang kekasih, hahaha." Lorin pun tak mau kalah. Mereka berdua tertawa. Awas saja mereka, pulang tinggal nama.

Tepat pukul 2 siang sekolah berakhir. Tak disangka, sekarang aku lebih dekat dengan laki-laki yang dianggap paling dingin dan jutek di seantero sekolah. Selama pelajaran dia menceritakan padaku tentang penyebab lebam-lebam di wajahnya melalui sobekan kertas. Ternyata dia dipukuli oleh anak 10 dan 11 yang bersatu dalam sebuah geng yang aku pikir itu konyol. Penyebabnya hanya karena Pemimpin mereka ditolak cintanya karena gadis yang di sukainya menyukai Alfandi. Huh, sungguh tak mencerminkan sikap siswa SMA! Memalukan.

Tak hanya itu saja. Sepulang sekolah aku mampir terlebih dahulu ke rumah Rama. Jujur saja, aku baru tahu bahwa Al, sepupu Rama ini tinggal di rumah Rama. Tentu saja bibi senang melihat kedatanganku. Disana, Al banyak bercerita kepadaku. Tentang kepindahannya, Ayahnya, Paman dan Bibi, dan bahkan tentang Rama dan Fath. Al terlihat berbeda sekali dengan saat dia di sekolah. Dingin. Tak berekpresi. Disini ia tak tanggung-tanggung memperlihatkan senyumnya berkali-kali dan bahkan tertawa di depanku. Sungguh sisi lain yang tak dapat orang lihat selain aku. Sebenarnya walaupun di sekolah Al tak pernah bersikap dingin dan cuek kepadaku. Sampai minggu lalu aku menyadari bahwa sikapnya itu hanya ia tunjukkan kepadaku. Sempat aku memperhatikannya, pernah dia sengaja tidur di kelas demi menghindari beberapa siswi yang mencoba berkenalan dengannya. Ketika orang lain bertanya padanya, dia menjawab dengan nada datar bahkan terdengar dingin dan agak kasar. Tipe orang yang mudah sekali menyinggung hati orang. Dia selalu sendiri atau sengaja sendiri, aku tak tahu. Maka tak heran mengapa tadi Hazel terus menggodaku. Karena cara Al berbicara kepadaku dan kepada Hazel sangat berbeda jauh. Aku juga tak tahu kenapa hanya kepadaku?
Malam tiba, aku sudah berada di rumah. Rama meneleponku. Dia minta maaf saat aku berada di rumahnya tadi dia tak bisa menemuiku, karena sibuk mempersiapkan tes masuk Universitas. Aku mengerti. Hanya tinggal 6 bulan hingga ia lulus dari SMA. Rama memutuskan untuk kuliah di Ibukota kelak. Aku pasti merindukannya.

"Nanti kalo aku udah pindah ke Ibukota, jaga diri baik-baik yah. Jangan kebanyakan ngelamun, juga ketiduran di kereta ato bis. Tar ga ada yang jemput kamu lagi."
"Oh terimakasih bapa atas sindirannya." Aku tersinggung. Rama tertawa. "Kamu juga disana baik-baik. Dari sekarang belajar masak biar gak gosong lagi. Blee.. Masak telor aja sampe item. Memalukan."
"Ohoho, terimakasih juga ibu atas sindirannya." Aku tertawa.
"Kendaliin emosi, jangan sampe terpancing sama hal-hal sepele. Sebisa mungkin selesein masalah dengan otak dingin." Aku serius.
"Iya, aku tau. Kejadian itu gak kan terulang lagi. Tenang aja."
"Aku pasti rindu Rama." Air mataku mulai menetes. Haha, yah aku terbilang perempuan cengeng. Aku dan Rama, selama 15 tahun ini tak pernah terpisah. Teman bermainku. Sekaligus pelindungku. Wajar kalau aku sedih jika suatu saat harus berpisah dengannya.
Rama terdiam cukup lama. "Hey, mulai sekarang belajar panggil aku Ka Rama ato Kaka. Gini-gini aku lebih tua 2 taun dari kamu tau." Ia tahu aku sedih dan berusaha mengalihkan arah pembicaraan.
"Gak mau. Sekali Rama tetep Rama. Blee.." Aku menjulurkan lidah meski aku tahu Rama tak kan melihatnya. Aku tersenyum lagi.
"Masih ada 6 bulan. Kita bisa pake buat puas-puasin maen bareng. Hehe." Seringainya.
"Kaya yang bakal keterima aja tu di Universitas. Lagian ngaco, 6 bulan itu buat belajar persiapan ujian bukan buat maen."
Rama tertawa lagi. "Wah kamu ngedo'ain aku biar ga keterima yah? Awas ya kalo gak keterima berarti gara-gara kamu. Iya iya tau, belajar sambil bermain kan? Haha." Orang ini sangat suka bergurau. Ingin sekali aku memukul kepalanya. "Mmh Val... aku juga pasti rindu kamu." 

Hening. Lalu hujan pun turun. Malam makin gelap pekat tanpa sinar rembulan. Aku tertidur dengan pipi yang basah.


Yuu-Chan


Read More... Another Side

Selasa, 03 Januari 2012

Bukan Pengecut

Siang itu, Aku pulang ke rumah dalam keadaan babak belur. Rama membantuku berjalan dan membawakan tasku. Bibi terlihat sangat terkejut.

"Aku mohon jangan bilang apa-apa ke Papa soal ini." Aku meminta pada bibi sambil berlalu pergi menuju kamar. Aku melemparkan badanku diatas kasur. Bibi pasti bertanya-tanya pada Rama soal apa yang terjadi padaku hari ini.

"Tiba-tiba aja ada beberapa anak yang ngajak berantem, tapi ngga di tanggap sama Alfa. Eh mereka langsung mukulin Alfa. Tapi Alfa diem aja. Gak ngelawan. Untung Rama datang. Huh dasar anak-anak kecil, mereka adik kelas Rama semua, kelas 10 sama kelas 11. Mereka langsung pergi pas liat Rama datang." Terdengar suara Rama yang berusaha menjelaskan apa yang terjadi pada Bibi. Aku bukannya takut pada mereka hingga tak berani melawan. Tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak berkelahi lagi. Dan janji seorang pria harus ditepati. Kalau tidak, dia tak ubahnya seorang pengecut. Yah untunglah Rama dan teman-temannya yang duduk dikelas 12 itu datang, dan mereka semua berlarian ketakutan. Kalau tidak, mungkin saat ini aku sudah ada di alam lain.


Aku dengar Rama dan teman-temannya memang yang paling ditakuti di sekolah, terutama Rama. Pernah sekali Rama hampir memukul mati om-om demi melindungi adik perempuannya. Om itu hampir melakukan pelecehan seksual terhadap adiknya yang masih duduk di kelas 1 SMP itu. Ia tak dapat mengendalikan emosinya. Adiknya pun tak dapat menghentikannya, Rama tetap memukul om tersebut walaupun dia sudah tak sadarkan diri. Dan hingga akhirnya Valerie datang dan dapat menenangkannya. Hm gadis itu lagi. Kabar tersebut cepat menyebar tak hanya di sekolahnya saja tapi juga sampai ke sekolah lain. Bahkan sampai ke sekolahku yang berada di luar kota. Sampai sekarang tak ada seorang pun yang berani melawan Rama.

Aku memegang pipiku. Sial, sakit sekali. Huh, kalau saja Papa tahu, bisa-bisa aku dipindahkan lagi ke kota yang lebih jauh. Papa tak boleh tahu tentang hal ini. Aku mencoba memejamkan mata dan akhirnya terlelap.

Aw, pipiku nyut-nyutan.  Aku membuka mata, sudah pagi ternyata. Kulihat disamping tempat tidurku ada mangkok berisi air dan handuk kecil. Sepertinya bibi merawat lukaku ketika aku tidur. Aku berkaca di toilet. Ada plester di pipiku. Terimakasih bibi. Ternyata seorang ibu itu seperti ini ya. Aku tersenyum.
"Ka Alfa udah bangun?" Fath, adik Rama masuk ke kamarku.
"Iya, kenapa Fath?" Aku menjawab dari dalam toilet.
"Ini sarapan buat ka Al."
"Oh ok, taro aja di meja."
"Ka, kata mama hari ini ga usah sekolah dulu, besok aja, biar pipinya sembuh dulu."
Aku keluar dari dalam toilet. "Ga papa ko, Al sekolah aja. Cuma bengkak dikit." Aku tersenyum.
"Oh ok deh tar Fath bilang mama." Seraya keluar dari dalam kamar dan menutup pintu.

Pagi yang tak begitu menyenangkan. Hari ini tak hanya siswi-siswi yang biasanya selalu memandangku ketika berjalan tapi juga para siswa. Hampir seluruh isi sekolah menatapku. Mungkin karena wajahku yang biru-biru ini.

Jam pelajaran kedua aku membolos. Aku menemukan tempat yang nyaman di belakang sekolah. Bukit rumput kecil. Aku bebaring disana dan akhirnya tertidur. Tak lama kemudian aku mendengar suara perempuan memanggil namaku. Oh aku kenal suara itu. Teman sekelasku. Si kembar yang selalu bersama Valerie. Tapi saat itu dia hanya seorang saja, tak bersama kembarannya. Namanya, entahlah aku tak tahu.
"Hey Alfandi. Lagi apa di situ? Ko bolos?" Dia menghampiriku dan duduk di sebelahku. "E eh? kenapa wajahmu? Ko biru-biru?"
"Ngga kenapa-napa, biasa masalah laki-laki" Huft, syukurlah teman-teman sekelasku belum ada yang 'ngeh' dengan wajah babak belurku ini.
"Huh, kenapa sih laki-laki itu doyan berantem." Protesnya.
"Hey kamu temen sekelasku kan?" Aku tak menanggapi protesnya.
"Ya ampuuunnnn... Kamu udah 2 minggu sekolah di sini tapi masih nanya 'kamu temen sekelasku kan'. Ingetan kamu jelek ya?"
"Bukan jelek, tapi emang males nginget yang gak penting."
"Apa? Ih ga sopan banget sih. Untung aku bukan orang yang gampang marah."
"Sorry, aku mang to the point orangnya. Eh kamu temen deket Erie kan yah? Aku suka liat kalian jalan bareng-bareng."
"Erie? Kalian sedeket itu?"
"Maksudnya?"
"Yang manggil dia 'Erie' tu cuma keluarganya aja, Ka Rama aja yang jadi temen kecilnya manggil dia 'Val'. Nih ya kalo di sekolah dia itu dipanggilnya 'Val', 'Vey', 'Ley' dan lain-lain. Gak ada yang manggil 'Erie'."
"Suka-suka dong, mang ada Undang-Undangnya kalo cuma keluarga yang manggil dia 'Erie', selain keluarga di haramin." Aku agak kesal.
"Haha." Dia tertawa. "Ya nggalah, cuma orang lain pasti mikirnya kalian deket banget, gituu. Ah kamu tu dibilangin juga. Hm, jangan-jangan suka yaa? Tiba-tiba ngomongin dia. Cie.. Kamu juga waktu pertama masuk, udah ngobrol sama si Ley sambil senyum. Kalo murid yang laen mau kenalan, kamu jutekin. Udah kuduga emang ada apa-apanya ni." Dia berusaha menggodaku.
"Bukan. Sembarangan. Cuma pengen nanya. Akhir-akhir ini dia punya masalah ga?"
"Hm.. Setau aku sih ngga. Kenapa?"
"Kalo dua minggu lalu?"
"Ngga punya perasaan, kenapa sih? "
"Ngga, cuma nanya aja."
"Kenapa gak tanya aja sama Ka Rama? Mereka kan deket banget. Ato kalo ngga sama orangnya langsung, biar jelas jawabannya. Mau aku tanyain?"
"Eh gak usah."

Lalu kalau begitu, mengapa saat itu dia menangis? Apa cuma mimpi buruk biasa? Aku juga pernah menanyakan hal ini pada Rama. Dan jawabannya sama. She's fine. Ah sudahlah, kenapa aku jadi memikirkannya? Tapi jujur saja keingintahuanku tentang hal ini menguras pikiranku.

"Oh ya nama kamu siapa?"
"Kenalin, Hazel." Dia menjabat tanganku.


Yuu-chan

Read More... Bukan Pengecut

No Matter What They Say, I'm Just Me

"Mmm. Aku suka sama kamu, kamu mau ga jalan bareng aku?" Seorang gadis menyatakan rasa sukanya padaku dengan malu-malu. Wajahnya terlihat memerah.
"Jalan kemana?" Jawabku polos dan datar.
"Ma maksudnya, kamu mau ga jadi pacarku?"  Wajahnya semakin memerah. Ia menundukkan kepala.
"Mmm, maaf tapi aku ga kenal kamu..." Baru saja gadis itu ingin berkata, mungkin begini 'Kita bisa kenalan sambil pacaran', tapi belum sempat karena tertahan kalimatku selanjutnya. "Dan lagi aku ga suka cewek yang lebih tua." Mungkin agak keterlaluan. Tapi itulah, aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya. Gadis itu duduk di kelas 11.
Gadis itu sontak mengangkat kepalanya seraya menunjukkan ekspresi tak suka, jelas ia tersinggung. Ia langsung berlari sambil menangis. Yah mungkin aku terbilang cowok cuek dan sadis. Tapi bukan itu sebenarnya, aku hanya tak suka basa-basi. Bagiku itu mirip dengan berbohong. Aku lebih suka berkata langsung pada intinya, sehingga dapat meminimalisirkan kesalahpahaman. Kalau memang aku suka , aku pasti bilang suka. Tapi kalau aku tak suka, ya tak bisa di paksakan dan mengatakan dengan jujur kalau aku tak suka. Mungkin sifat itu yang membuatku selalu terasing dari lingkungan. Tak punya teman. Tapi aku memang tak membutuhkannya kok. Selama aku nyaman dengan keadaanku yang selalu sendiri.


Sudah 2 minggu aku sekolah di sini. Dan sudah ada 5 orang gadis yang menyatakan sukanya padaku. Jelas mereka aku tolak semua. Hah, aku malas dan tak tertarik untuk pacar-pacaran. Entahlah aku tak mengerti apa yang mereka suka dariku? Aku tak begitu istimewa. Dan aku menilai diriku sendiri biasa saja, tak ada yang perlu dibanggakan. Aku juga tak berlaku sok kecakepan.

Hampir setiap aku berjalan di lorong sekolah, siswi-siswi yang sedang berdiri-diri sambil mengobrol itu langsung menempelkan pandangannya padaku, mengikuti arah kemanaku berjalan, dan aku merasa sangat terganggu.

"Iyalah dia punya tampang. Keliatannya juga orang berada. Wajar dong baru dua minggu sekolah disini udah dikejar-kejar para cewek. Pasti dia besar kepala sekarang, huh." Itu hanya satu dari sekian banyak siswa laki-laki yang mengumpat tentangku di belakangku. Tapi aku tak peduli. Yah aku tahu hanya orang-orang sirik yang berlaku seperti itu.

Tapi..
"Hey! Ngomongin orang sembarangan! Kalau gak tau apa-apa diem deh. Emang dia lebih cakep dari kalian yang busuk ama omangan kalian. Huh." Ada juga yang membelaku di belakang. Aku jadi tersenyum sendiri dari kejauhan. Ya dari awal sejak aku pertama bertemu dengannya aku merasa gadis itu berbeda. Valerie...

Kalau aku perhatikan, akhir-akhir ini dia sudah tak menusukkan tatapan tajamnya padaku. Di kelas dia fokus dengan pelajaran. Ia juga tak pernah sengaja mendekatiku. Tanpa sengaja aku jadi memperhatikannya. Badannya yang tak terlalu tinggi, mungkin sekitar 150 cm. Kulit yang putih. Rambut yang panjang berwarna coklat tua. Matanya yang bulat tapi tajam. Senyuman yang manis. Dan rasa kemanusiaannya yang sangat tinggi. Aku makin penasaran dengannya. Terlebih jika aku mengingat kejadian di bis saat ia meneteskan air mata dalam tidurnya. Aku bahkan tak pernah menyangka akan bertemu dengannya lagi di rumah Rama dan bahkan pindah ke sekolahnya. Jika saat itu aku tahu dia hendak ke rumah Rama sudah barang tentu dia kubangunkan dan kita bisa pergi bersama. Haha, apa yang kupikirkan.



Bel sekolah berbunyi tepat pukul 2 siang. Seluruh siswa berhamburan keluar dari kelas bagai semut-semut yang keluar dari sarangnya. Siang yang panas. Namun ada yang lebih panas. Sekumpulan siswa berwajah preman beridiri tepat di depanku ketika aku baru saja keluar dari gerbang sekolah. Terlihat beberapa kakak kelas dan yang satu angkatan denganku mendengus ke arahku. Aku hanya membalas dengan senyuman sinis.  Hah, dasar anak-anak kecil pikirku.


Yuu-chan

Read More... No Matter What They Say, I'm Just Me